Cerita Capitol
Kamis, 7 Januari 2021 pagi di Indonesia, kita disuguhi cerita demokrasi ala Amerika. Rapat kongres terkait sertifikasi hasil Pilpres sempat ditunda. Pasalnya, pendukung Presiden Donald Trump meringsek masuk.
Kompetisi dan pantang menyerah adalah urat nadi kapitalisme. Sekecil apapun kesempatannya, harus dicoba. Sepertinya itu yang coba dipakai Presiden Donald Trump.
Demo yang digelar di kompleks Gedung Konggres diharapkan menjadi Sumber energi buat para senator dan anggota DPR dari Partai Republik gigih melalukan perlawanan. Lantas, Wakil Presiden Pence diharapkan bisa bersikap tegas menolak hasil pemungutan suara. Namun, cerita tak seindah harapan. Demonstrasi berujung ricuh.
Imbasnya, membuat para senator harus diselamatkan. Bahkan ada kabar, peristiwa itu memakan korban. Tercatat ada empat orang korban jiwa. Lantas 52 orang ditangkap.
Bahkan ada demonstran yang bisa masuk ke ruang Ketua Senat, Nancy Pelosi. Berfoto ria sambil menaruh kakinya di meja kerja sang ketua. Ada juga yang membawa mimbar milik sang speaker. Speaker, biasa orang Amerika menyebut Ketua Senat.
Di balik ruang kerja itu, ada balkon spesial dengan pemandangan indah. Bisa memandang lurus ke Monumen Washington. Yang bentuknya mirip lingga, konon juga jadi salah satu inspirasi Presiden Sukarno untuk membangun Monas. Dari situ juga terlihat Gedung Putih, kantor dan kediaman presiden.
Bagi sebagian orang Amerika, peristiwa itu dianggap menodai citra mereka sebagai negara kampiun demokrasi. Ada kata kunci yang dikutip banyak figur penting di sana: inssurection alias pemberontakan. Hal yang dianggap melanggar konstitusi. Tindakan yang dipicu oleh ucapan penguasa melalui media sosialnya.
Saya sudah tiga kali menyambangi gedung ikonik ini. Pertama bersama keluarga. Saat itu, karena gedung sudah tutup, kami hanya sibuk foto di sana-sini. Gedung ini, arsitekturnya indah sekali. Sayang kalau tidak dijadikan kenangan. Kubahnya adalah legenda.
Tercatat, pembangunan gedung ini dimulai pada 18 September 1793. George Washington, presiden saat itu, meletakkan batu pertamanya. Di sinilah pelantikan presiden dilakukan, mulai dari Presiden AS ke-3 Thomas Jeferson, hingga presiden ke-45 Donald Trump.
Yang kedua, saya datang bersama seorang teman dari Thailand. Kami masuk dan mampir ke perpusatakaannya yang juga mencengangkan. Jutaan buku tertata rapi. Pemandanganya indah sekali. Bak surga bagi para pecinta buku. Semoga keindahan itu tidak dihancurkan para vandalis dan pemberontak itu.
Yang ketiga, saya sendirian. Ikut tour keliling di dalam gedungnya. Saat itu, kubahnya tengah direnovasi. Banyak patung figur penting politisi negeri itu di bawah kubah. Bagian dalam kubah, juga dipenuhi banyak lukisan. Mirip, dengan di Vatikan.
Yang pasti, setelah ontra-ontra bisa dikendalikan, rapat kongres dilanjutkan.
Walau ada penolakan, namun hasil akhir, jelas. Kongres mensertifikasi kemenangan Joe Biden dan Kemala Harris. Karena rapat ini hanya penugasan dari hasil setiap negara bagian.
Banyak hal yang menarik dan bisa kita pelajari dari peristiwa itu. Hak kebebasan berbicara adalah prinsip di Amerika. Namun, jika sudah melakukan kekerasan, gangguan sosial, tentu tak lagi jadi teladan. Bagi saya, ada hal yang juga menarik, salah satunya pernyataan terbuka para petinggi perusahaan global. Mereka serempak mengutuk kejadian itu.
Dukungan banyak pihak yang kecewa atas peristiwa Capitol itu, membuat arah angin berubah. Beberapa penyelidikan atas kejadian itu dilakukan. Betul, aparat hukum harus bertindak cepat. Sekali lagi, ini soal reputasi dan prinsip konstitusi yang harus ditegakkan.
Pengambilan sumpah preside dan wakil presiden terpilih, tinggal menghitung hari. Banyak yang berharap, ontra-ontra ini selesai. Stabilitas politik kembali seperti sedia kala. Tapi, sekali lagi itu harapan.
Berkaca dari beberapa negara, perpecahan politik butuh waktu untuk rekonsiliasi. Itu belum termasuk, bila ada yang masih berharap, bara konflik terpelihara. Bisa buat energi buat pemilu berikutnya.
Apakah pendekatan mirip di Indonesia bisa dipakai? Kompetitor diajak bergabung di pemerintah? Sepertinya itu musykil terlaksana saat ini.
Pengalaman ini menyadarkan, sikap dan perkataan pemimpin itu adalah rujukan. Bagi pengagumnya, kata itu bak titah yang harus dilakukan. Apa pun resikonya.
Saya lantas teringat, berulang kali, Presiden Abdurahman Wahid mengaku, menyetop keinginan warga Nahdiyin yang ingin masuk ke Jakarta. Mereka marah karena Gus Dur dilengsekan. Melakukan demo besar, mendukung Gus Dur untuk tetap jadi presiden.
Bisa jadi, peristiwa serupa terjadi di Jakarta waktu itu. Tentu, dengan masa yang ribuan, pecah konflik dan korban bisa terjadi. Di sini, kita belajar, kearifan dan kedewasaan pemimpin adalah keharusan.
Karena dia bisa menilai, apa yang terbaik bagi bangsanya.
Ajar Edi, Kolomnis Ujar Ajar
Advertisement