Cerita Bayu, Warga Eks-Stren Kali Jagir yang Diusir dari Rusun Gunungsari
Warga eks Stren Kali Jagir, Wonokromo, Surabaya ingat betul kejadian kelam yang dialami pada Kamis 16 Mei 2024. Warga sebanyak 40 kepala keluarga (KK) ini terusir dari tempat tinggalnya yang telah dihuni puluhan tahun tepatnya di rumah susun (Rusun) Gunungsari Surabaya.
Warga mencatat bahwa peristiwa pengusiran tersebut merupakan yang ketiga kali yang dialaminya. Pengusiran atau penggusuran pertama terjadi pada sekitar tahun 1970 dan yang kedua terjadi pada tahun 2009 silam.
Pengusiran terhadap 40 KK eks-warga Stren Kali Jagir dipaksa menetap di Rusun Gunungsari tersebut berdampak banyak terhadap kondisi psikologis para penghuni beserta anggota keluarganya masing-masing.
Salah satu korban pengusiran, Bayu Kuntoro Mukti mengatakan, dirinya melihat sekitar kurang lebih seribu personil keamanan menggeruduk Rusun Gunungsari. Warga seakan-akan sedang diperlakukan layaknya penjahat.
"Pada jam 9.00 pagi, ada sekitar seribuan aparat dan kami sudah mulai hadang-hadangan dengan aparat. Ada petugas Brimob sampai preman waktu itu. Kita rakyat kecil sampai dihadapkan dengan aparat bersenjata, dan anak-anak kami yang masih kecil juga melihatnya," ujar Bayu, sapaan akrabnya.
Bentrokan tak dapat dihindarkan. Dengan berat hati, akhirnya para warga mengalah dan mengosongkan rumah masing-masing, yang telah ditempati sejak tahun 2011 lalu. Bayu bersama istri dan kedua anaknya lalu berpindah ke pendopo, yang terletak di rumah susun tersebut.
Bayu lantas menjelaskan bahwa bentrokan dan kehadiran para aparat membawa dampak psikologis yang buruk terhadap buah hatinya. Keesokan harinya sejak kejadian pengusiran tersebut, Bima, anak pertamanya yang masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar, sampai tidak ingin bersekolah karena trauma dengan kejadian tersebut.
"Anak saya ngelihat langsung saya hadangan sama petugas. Besoknya, saya suruh anak saya sekolah, tidak mau sekolah. Dia bilang nanti kalau sekolah diusir ambe polisi. Saya bilang yawes tak anterno, terus dia jawab, ayah ae kalah karo polisi," tutur pria berusia 42 tahun tersebut.
Bayu juga menjelaskan, dirinya sudah setengah mati membujuk anaknya untuk pergi bersekolah, hingga ingin menemaninya. Namun bujukan tersebut juga tidak diindahkan.
"Yawes ayah tunggoki, lalu dia bilang aku disini aja tidak mau sekolah. Saya rasa tramuatik disitu. Nanti aku diusir polisi akeh ndak wis aku disini aja sama ayah. Anak sekecil itu sampai trauma mas, tak bangkitno tidak bisa," bebernya.
Dirinya mengakui tidak memiliki tempat untuk tinggal selain satu unit rusun yang terletak di lantai empat tersebut. Bayu mengaku sempat mengajukan membayar sewa rusun dengan cara mencicil. Namun, petugas dinas terkait menolak permintaan tersebut mentah-mentah dan ingin meminta biaya sewa dibayar secara penuh.
"Negara katanya menjamin kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan anak bangsa, itu yang korupsi korupsi sekian miliar dibiarkan, tapi ini cuma Rp6 juta mas (tagihan sewa). Saya memang miskin tidak punya apa-apa, kami tidak punya rumah selain di rusun. Pengusiran kemarin dampaknya luas ke anak istri saya dan warga lainnya," pungkasnya.