Celana Pendek Gus Dur
Saya tak bisa hadir saat ribuan orang menghadiri haul Gus Dur ke-9 di Ciganjur, tadi malam. Tapi sungguh saya ikut merasakan di kerumunan orang di sana.
Pikiran saya melayang 12 tahun lalu. Saat untuk kesekian kalinya menemui KH Abdurrahman Wahid di rumahnya. Di kamarnya yang menjadi tempat ia istirahat.
Di kamar itulah sejak dulu saya selalu bertemu setiap ke Ciganjur. Sejak sebelum ia jadi presiden sampai tak lagi tinggal di Istana Kepresidenan.
Ia sedang dipijiti seseorang. Saya lupa namanya. Tapi ia orang yang menjadi bagian dari keluarga. Yang sehari-hari melayani Gus Dur.
Di hari itu, saya tiba-tiba meminta celana pendeknya. Untuk kenang-kenangan. Untuk jimat. Barang siji sing dirumat. Satu barang yang terus dirawat.
Permintaan itu tiba-tiba. Spontan. Juga dibayangi kecemasan tak direspon baik oleh Gus Dur. Masak minta celana pendek bekasnya?
Entah apa juga yang dipikirkan Gus Dur atas permintaan itu. Yang jelas, ia tak bertanya. Ia langsung menyuruh pria yang memijitnya untuk mengambilkan di lemari.
Celana pendek itu saya simpan hingga kini. Saya simpan di lemari. Tapi, tadi malam di Haulnya ke-9 saya cari lagi. Tapi belum saya temukan sampai pagi ini.
Celana pendek menjadi sesuatu yang melekat dalam diri Gus Dur. Ia seorang kiai besar. Cucu pendiri NU. Tiga periode menjadi Ketua Umum PBNU.
Gus Dur tak pernah pakai sorban. Tak pernah pakai gamis seperti ustad dan kiai instan yang bertebaran sekarang. Seperti orang biasa.
Padahal ia pemimpin dari puluhan juta umat muslim di Indonesia. Pemimpin Ormas Islam terbesar se dunia. Puluhan juta warga Nahdliyin yang hormat dan nurut kepadanya.
Kecuali tamu resmi, ia selalu menemui setiap orang yang datang di kamarnya. Dengan celana pendeknya. Sambil rebahan. Juga selalu ada guyonan yang dilontarkan.
Celana pendek itu pula yang dipakai Gus Dur saat menenangkan pengikutnya di depan Istana. Saat ia dilengserkan di tengah jalan dari kepresidenan.
Celana pendek dan kaos yang terkadang terlihat lusuh yang sering tampak menempel Gus Dur di rumahnya. Setidaknya seperti yang saya lihat setiap saya mengunjunginya.
Selain soal celana, saya tadi malam didera penyesalan yang mendalam. Saat mengenang Gus Dur yang hari kematiannya diperingati orang se-Indonesia. Tak hanya oleh warga NU. Tapi juga umat lain yang mengenang jasa-jasanya.
Suatu ketika, saya mengundang Gus Dur dalam sebuah acara seminar di Yogyakarta. Di pertengahan tahun 1990-an. Bertempat di Asrama Haji Jalan Ring Road Utara.
Saat makan bersama dengan Ketua PWNU DIY almarhum Sofwan Helmi yang masih paman saya, ia minta diantar ke Jombang dengan mobil malam itu juga.
Gus Dur berniat mampir ke Mbah Lim (KH Muslim Imampuro), kiai unik yang dianggap orang seorang wali, di Klaten. Juga ke Solo mampir ke seorang kiai. Ajakan itu disampaikan tengah malam, usai seminar.
Itu kebiasaan Gus Dur. Selalu berusaha silaturahmi kiai setempat setiap melewati kota. Atau bersilaturahmi ke makam kiai yang dilewatinya. Meski tengah malam.
Seakan tak ada keteraturan waktu bagi Gus Dur. Siang dan malam adalah sama. Kalau dia ingin jalan, jalanlah. Termasuk bertamu ke orang yang dihormati dan disayanginya seperti Mbah Lim Klaten.
Yang membuat saya menyesal sampai kini, saya tak menuruti permintaan Gus Dur itu. Padahal, mobil sudah disiapkan Paklik saya yang juga Ketua PWNU DIY saat itu.
Dua alasan yang membuat saya tak menurutinya. Karena saya belum punya SIM dan saya lebih ngaboti pekerjaan saya sebagai wartawan anyaran.
Padahal, kalau saya mau mengantar dan nyopiri Gus Dur, pasti banyak ilmu dan perbendaharaan joke yang saya dapat. Betapa asyiknya berjam-jam bersama Gus Dur berdua dalam perjalanan.
Uniknya, penyesalan itu tak bisa hilang sampai sekarang. Jadi, di Haulnya ke-9, rasa sesal itu tetap menghantu pikiran.
Menyesal kerena nggak menuruti ajakan Gus Dur mengantar ke Jombang. Juga menyesal karena celana pendek pemberiannya yang saya jadikan jimat belum ketemu sampai sekarang. (Arif Afandi)