Cek Kosong Pak Beye Untuk Mas Bowo
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjukkan kelasnya sebagai maestro politik. Banyak yang kaget dan bingung sejenak setelah SBY menyatakan mendukung Prabowo sebagai capres, tanpa menuntut konsesi. Termasuk posisi cawapres.
Banyak yang menduga SBY pindah ke lain hati dari Jokowi ke Prabowo karena persoalan posisi cawapres. Sebab seperti kata elite Partai Demokrat, obsesi mereka adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres.
Kubu Jokowi, maupun calon partner koalisi Gerindra —terutama PKS— mesti hati-hati dengan langkah kuda SBY ini. Pasti ada rencana dan strategi besar yang tengah disiapkan SBY dengan memberikan “cek kosong” ke Prabowo. Bagaimanapun adagium “tak ada makan siang yang gratis dalam politik,” tetap berlaku. Termasuk bagi SBY.
Ibarat seorang gambler, SBY melepas kartu AS, tapi tetap menyimpan kartu Jokernya. Lawan yang merasa di atas angin biasanya menjadi tidak waspada. Pada akhirnya SBY lah yang memenangkan permainan.
Keputusan Demokrat memberikan “cek kosong” memastikan Prabowo kembali berhadapan dengan Jokowi. SBY lah yang kini menjadi King Maker. Keputusan itu untuk sementara juga mengakhiri tarik menarik kepentingan siapa yang akan menjadi cawapres. Prabowo terhindar dari tekanan PKS yang mematok Salim Segaf Al Jufri cawapres sebagai harga mati.
Siapa yang akan dipilih Prabowo
Dengan tiket “gratis’ dari Demokrat, Prabowo kini tinggal memberi sentuhan akhir bangunan istananya. Dia harus sangat hati-hati dan ekstra cermat melakukan kalkulasi politik. Bila tidak istana yang sudah di depan mata, bisa berubah menjadi istana pasir yang mudah tersapu ombak.
Ada dua pemangku kepentingan yang harus benar-benar dijaga oleh Prabowo. Pertama, calon partner koalisi yakni Demokrat, PAN, dan PKS. Kedua, kelompok keumatan yang direpresentasikan melalui ijtima ulama.
Prabowo sudah berhasil mencapai kesepakatan dengan Demokrat. Dia tinggal menyelesaikan urusannya dengan PAN dan PKS. Dengan PAN tampaknya Prabowo relatif tidak akan menemui kesulitan. Sejak awal PAN sangat rileks. Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais sudah menyatakan tidak akan memaksakan kadernya menjadi cawapres. Concern terbesar mereka adalah bagaimana memenangkan Pilpres.
Tinggal bagaimana sekarang Prabowo melakukan negosiasi dengan PKS. Hasil ijtima ulama yang merekomendasikan Ustad Salim Segaf Al Jufri dan Ustad Abdul Somad menjadikan PKS berada di atas angin. Apalagi setelah Abdul Somad menolak dan mendukung Salim Segaf. Logikanya bila harus menuruti ulama, maka Salim Segaf lah yang harus dipilih.
Namun seperti kata Prabowo soal cawapres akan dibicarakan dengan parpol koalisi. Jadi Prabowo harus mencari titik temu diantara dua kepentingan itu. Dia harus menemukan figur yang bisa diterima ulama dan juga diterima parpol koalisi.
Amien Rais sudah menyatakan Salim Segaf tidak cukup “nendang” sebagai cawapres. Internal Gerindra juga punya pandangan yang sama. Mereka sejak awal menginginkan Anies Baswedan sebagai pendamping Prabowo. Namun hal itu mentok karena tidak disepakati PKS dan juga ditolak oleh Anies. PKS bahkan sempat mengusung wacana Anies-Ahmad Heryawan (Aher) sebagai pasangan kandidat.
Agar negosiasi tidak menemui jalan buntu, ada baiknya PKS tidak selalu memasang harga mati. Bila tetap menginginkan kadernya sebagai cawapres, PKS bisa mengajukan figur yang lain. Misalnya kembali ke opsi Aher. Bagaimanapun sebagai Gubernur Jabar dua periode Aher punya reputasi sangat baik. Pemilihan internal (Pemira) PKS juga menempatkan Aher di posisi nomor satu sebagai bacapres.
PKS harus membuka diri untuk menerima figur di luar partai yang bisa diterima koalisi, jika figur internal tetap ditolak. Apabila koalisi tak bisa segera menemukan kata sepakat, bukan tidak mungkin Prabowo kembali ke opsi menggandeng AHY.
Cukup banyak alasan mengapa Prabowo kembali menggandeng AHY. Selain dukungan partai dan nama besar SBY, AHY juga punya elektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan cawapres PKS dan PAN. Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan, AHY dipastikan memiliki logistik yang sangat dibutuhkan oleh Prabowo.
Bila itu yang terjadi SBY tidak bisa disalahkan. Toh sejak awal mereka sudah menyerahkan persoalan cawapres sebagai hak “prerogatif Prabowo”. Salah sendiri mengapa selalu memasang harga mati.
Dalam negosisasi politik itu kita harus bisa memahami apa kebutuhan lawan, bukan hanya fokus pada kebutuhan sendiri. Tahu kapan harus mundur dan kapan harus maju. Kapan berkata “ya” dan kapan berkata “tidak.” Yang lebih penting adalah win-win solution. “harga hidup. Bukan harga mati.” end
*) Ditulis oleh Hersubeno Arief, wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik -Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman herseubenoarief.com atas ijin penulisnya.