Cegah Radikalisme, PPI UNESA Luncurkan Karya Eks Napiter
Paham radikalisme-terorisme masih menjadi ancaman serius bagi tatanan kehidupan masyarakat dan negara. Sebagai salah satu upaya pencegahan Pusat Pembinaan Ideologi (PPI), LPPM Universitas Negeri Surabaya (UNESA) meluncurkan buku “Menjerat Teror(isme): Eks-napiter Bicara, Keluarga Bersaksi”.
Buku yang ditulis tim PPI UNESA yang terdiri dari Mukhzamilah, Much. Khoiri, Ahmad Bashri dan Mohammad Syahidul Haq ini diluncurkan untuk menyambut Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2022.
Buku tersebut memuat pengakuan 15 eks narapidana teroris (napiter) mengenai keterlibatannya dengan paham radikal; awal perkenalan, doktrinasi, keyakinan, cara perekrutan, pendanaan, persenjataan, serangan hingga titik balik mereka kembali ke pangkuan NKRI.
“Kami persembahkan karya ini sebagai langkah pencegahan dan mengedukasi masyarakat akan bahaya radikalisme-terorisme," ujar Bashri, salah satu penulis buku saat sesi webinar.
Lanjutnya, buku ini juga ditujukan agar masyarakat tahu bagaimana awalnya paham ini mulai merasuki pikiran dan keyakinan anak bangsa hingga menganggap Pancasila sebagai thaghut dan tiket cepat masuk surga yaitu dengan mengkafirkan dan menghalalkan darah orang-orang di luar kelompok mereka.
Selain itu, buku tersebut juga menyampaikan kesaksian para keluarga eks napiter atas keterlibatan anak atau saudara mereka dalam sengkarut radikalisme.
“Semoga buku ini bermanfaat dan perjalanan hidup para eks napiter bisa menjadi pelajaran buat kita semua agar tidak terjerumus ke dalam paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” harap Much. Khoiri, penulis lainnya.
Pengakuan Eks Napiter Jack Harun
Pada acara tersebut, hadir juga Joko Trihermanto alias Jack Harun, eks napiter sekaligus mantan anak buah kombatan kenamaan, Noordin M Top dan Dr Azhari. Jack Harun memaparkan, paham radikal bisa menyasar siapa saja, orang awam, orang kampus, lulusan pondok pesantren pun ada.
Paham ini masuk biasanya perlahan tapi pasti, bisa lewat teman, bisa lewat tetangga, bisa lewat suami atau istri, saudara pun orang tua atau anak.
“Jadi orang-orang yang pada dasarnya ingin memperbaiki diri, tetapi ada di kelompok yang salah, jadinya cepat pengaruhnya. Awalnya belajar salat atau seputar fikih, tetapi lama kelamaan akan masuk ke kajian-kajian ekstrem. Memang begitu alurnya yang harus diwaspadai kita semua,” terang Jack Harun.
Dia menambahkan, gerakan mereka cukup lihai. Tidak kelihatan. Namun berbahaya. Paham ini tidak hanya di satu agama, tetapi juga terjadi di semua agama dan kelompok.
“Gerakan teroris itu underground, doktrinasinya perlahan tetapi pasti. Kalau sudah di level keras, baru diajak untuk latihan tempur, merakit bom dari ringan sampai sederhana seperti di Poso,” paparnya.
Pria yang sekarang aktif mendakwakan ajaran damai tersebut menyampaikan bahwa PR pemerintah sekarang bukan hanya mencegah dan menindak terduga teroris.
Namun, juga memperhatikan bagaimana eks-napiter yang bebas dari tahanan. Mereka yang sadar, tobat dan kembali ke NKRI banyak ditolak bahkan dikucilkan. Mau kerja, apalagi di instansi tidak bisa. Itu yang dirasakan Jack Harun, usai keluar tahanan dulu.
Karena itu, eks napiter memang perlu diwadahi salah satunya bisa dalam bentuk yayasan untuk memberikan dukungan moril atau dukungan berupa pekerjaan atau mendirikan usaha tertentu.
“Saya sendiri buka warung soto di Grogol Jawa Tengah. Awalnya memang susah, tetapi saya berjuang dan bisa berkembang,” ungkapnya.
“Yang paling penting lagi, eks napiter yang sudah kembali ke NKRI kadang dapat ancaman dari anggota kelompoknya dulu atau anggota pengajiannya dulu (teroris). Ini yang harus jadi perhatian, memastikan keselamatan mereka yang sudah sadar dan tobat sembari memberikan pendampingan lewat yayasan dan sebagainya,” tandasnya lagi.