Cegah Intoleransi, 3 SMP di Sidoarjo Wujudkan Sekolah Toleransi
Program Sekolah Toleransi yang dilaksanakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan ternyata menjadi stimulus untuk berprestasi dalam banyak hal dan menjadi kebanggaan sekolah.
Hal ini dikemukakan oleh perwakilan dari SMPN 1 Taman, SMPN 1 Waru, dan SMPN 1 Gedangan ketika menyampaikan pengalaman masing-masing dalam acara “Learning Event Model Pengembangan Toleransi di Sekolah” di Tanjung Plaza Hotel, Tretes, Pasuruan. Ketiga SMPN tersebut sudah mendeklarasikan diri sebagai Sekolah Toleransi.
Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan yang juga Project Manager CBCTA #3, Henri Nurcahyo menjelaskan, acara ini merupakan rangkaian program Cinta Budaya Cinta Tanah Air (CBCTA #3) yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya ‘BrangWetan’ bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo dan mendapat dukungan dari Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas) Institute.
Peserta yang menjadi sekolah penerima manfaat adalah 50 SMP di Sidoarjo, terdiri dari 44 SMP Negeri, 6 SMP Swasta, juga pihak Dewan Pendidikan, Pengawas, dan Guru Penggerak.
“Kali ini ketiga SMPN yang sudah deklarasi Sekolah Toleransi, yaitu SMPN 1 Taman, Waru, dan Gedangan, menjadi mentor dan sekolah percontohan bagi SMP lainnya,” tutur Henri Nurcahyo, Sabtu, 13 Januari 2024.
SMPN 1 Gedangan membanggakan program Rare To (Ramadan, Retreat, dan Togetherness) yang merupakan ajang pertemuan siswa lintas agama, dan juga diikuti oleh guru, dan Komite Sekolah. Unit Kegiatan Radio Sekolah yang sudah ada sebelumnya lantas dimanfaatkan untuk penyebaran pesan-pesan toleransi yang sepenuhnya dioperasionalkan oleh siswa.
Sedangkan SMPN 1 Taman berhasil membentuk Tim Jurnalistik yang menghasilkan majalah sekolah yang seluruh divisinya ditangani oleh siswa. Di sekolah ini juga ada Satgas Toleransi yang terus aktif dan berganti generasi. Juga melakukan kegiatan bersih-bersih lingkungan di desa setempat.
Bahkan Kepala SMPN 1 Taman, Dra. Masroh Hidajati, M.Pd, berhasil menulis dan menerbitkan buku berjudul “Sekolah Toleransi Membangun Empati dan Simpati” yang berisi perjalanan lengkap dan panduan menuju Sekolah Toleransi.
Sementara SMPN 1 Waru punya program Podcast yang semakin beragam kontennya dengan adanya program toleransi. Merespons program Cinta Budaya Cinta Tanah Air (CBCTA) dari BrangWetan, SMPN 1 Waru melahirkan program GERTABUANA yaitu Gerakan Cinta Budaya, Tanah Air, dan Bangsa.
Selain itu juga Taman Toleransi dan Program Bela Negara. SMPN 1 Waru juga menjalin kemitraan dengan pihak Koramil dan Polsek dalam pembinaan siswa.
Hernik Ferisia dan M. Amin, dari UIN Sunan Ampel Surabaya yang menjadi fasilitator acara ini mendorong sekolah-sekolah lain untuk menyusun program sendiri sesuai dengan kondisi dan lingkungan sekolah.
Apa yang disampaikan oleh perwakilan SMP Puri Jaya misalnya, pihak sekolah mencoba membatasi jangan ada guru yang terlalu fanatik terhadap agama tertentu sehingga tidak nasionalistik. Karena di sekolah ini ada siswa dari empat agama yang disediakan empat guru agama (Hindu, Budha, Kristen, dan Islam).
Apalagi, masing-masing agama itu pun ternyata masih terbagi-bagi menjadi aliran yang berbeda. Selain memberlakukan doa lintas agama, sekolah ini juga punya program bernama Napak Tilas Religi, di mana siswa diajak mengunjungi tempat-tempat keagamaan yang berbeda sesuai dengan agama masing-masing.
Sementara itu, di tempat dan peserta yang sama, sebelumnya diadakan acara Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Discussion Group, FGD) dengan tema “Mewujudkan Sekolah Toleransi” yang dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Sidoarjo, Dr. Tirto Adi, M.Pd.
Dikatakan oleh Tirto, kasus intoleransi di Indonesia mengalami peningkatan drastis. Data dari Direktorat Sosial Budaya Badan Intelijen dan Keamanan Polri menyebutkan bahwa dalam tahun 2023 terjadi 30 kasus intoleransi di Indonesia.
Ini angka yang tertinggi sejak tahun 2019 yang hanya sebanyak 7 kasus, 14 kasus, dan sempat turun drastis hanya 3 kasus. Karena itu para Kepala Sekolah, Guru, dan juga siswa harus saiyeg saeko proyo (merapatkan barisan) agar kasus intoleransi tidak meningkat lagi.