Cegah Gerakan Radikal, Beragama Harus Komprehensif
Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Agung Danarto, mengungkapkan, terorisme menjadi permasalahan serius di Indonesia. Berbagai peristiwa teror terjadi disebabkan oleh kelompok yang mengatasnamakan suatu agama.
"Untuk itu pemahaman agama harus diajarkan secara komprehensif agar dapat memahami dan sekaligus mengamalkan ilmu agama," tuturnya dalam keterangannya, Jumat, 21 Februari 2020.
Menurutnya, mengajarkan Al-Quran harus diajarkan dengan pemahaman ilmu pengetahuan. Bukan hanya hanya dengan metode menghafal saja.
Ia menambahkan, dalam beribadah dan aqidah itu harus sesuai dengan ajaran agama. Tetapi untuk urusan sosial kemasyarakatan harus menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam.
“Yang literal (harfiah) hanya pada aspek ibadah dan aqidah, tetapi aspek di luar itu harus dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Jika membaca ayat, harus difikir dan dipahami terlebih dahulu,” ujarnya.
Sebelumnya, ia mengungkapkan hal itu saat mengisi Focus Group Discussion (FGD) “Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Sekolah dan Mubaligh Muhammadiyah: Menguatkan Moderasi Islam Indonesia”, Kamis 20 Februari 2020 di Hotel Grand Dafam Rohan, Banguntapan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMY itu juga mengatakan bahwa zaman terus berkembang, demikian juga dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini. Maka, umat Muslim harus rajin untuk mengikuti kajian kontemporer.
“Penerapan (ajaran Islam) dari waktu ke waktu harus mengikuti perkembangan peradaban yang ada. Harus mengikuti kajian keilmuan kontemporer yang ada,” tuturnya.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. Ir. Hamli, mengatakan bahwa faham radikalisme bisa masuk dan menyampaikan doktrin melalui berbagai tempat. Seperti sekolah, pondok pesantren, organisasi dan rumah sakit.
Kemudian ia juga menyampaikan waktu-waktu yang kerap digunakan oleh pelaku teror dalam melancarkan aksinya. Hal ini juga berhubungan dengan landasan pemikiran pelaku.
“Natal, tahun baru, Ramadan, lebaran dan 17 Agustus. 17 Agustus mereka akan serang, karena mereka menganggap sebagai negara thogut. Doktrin pemikiran seperti ini sudah terjadi mulai dari PAUD, dari TK. Minimal untuk tidak suka terhadap yang berbeda,” ujarnya.
Pada akhir forum yang diadakan oleh Program Doktor Politik Islam – Ilmu Politik UMY ini, Hamli memaparkan hal yang perlu dilakukan guna menghadapi hal ini. Yakni melalui penyampaian wawasan agama yang mendalam, wawasan kebangsaan, sosial politik, adil dan seimbang.