CCTV Rekam Pelecehan Seks Ini
Oleh: Djono W. Oesman
Pelecehan seks pria ke wanita, marak. Ini bukan soal istri Kadiv Propam Polri. Bukan. Melainkan, Satpam apartemen di Cengkareng, Jakarta Barat, inisial KH, 48 tahun, terhadap karyawati SF, 22 tahun. KH, langsung tersangka.
-------------
Langsung tersangka, karena bukti jelas: CCTV. Bahkan, beredar di sosmed. Lalu viral. Rekaman CCTV sudah diperiksa polisi. Dan valid. Bukan editan.
Di video CCTV, pelaku berseragam satpam. Masuk sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu, terdapat seorang wanita (SF) sedang duduk. Bekerja, itu perusahaan ekspedisi berkantor di apartemen tersebut. Dia sendirian.
Pelaku menghampiri SF. Terlihat ia berbicara dengan wanita itu. Lantas, pelaku memegang pundakh. Mengelus rambut. Langsung ditepis. Mungkin karena pelaku ketuaan, buat SF. Dari data, usia mereka terpaut 26 tahun.
Pelaku bukannya malu. Malah maju. Dipegangnya kepala SF, lalu menyosor bibir cewek cantik itu. SF berontak. Berdiri menjauh. Sambil menunjuk arah kamera CCTV. SF pergi meninggalkan pelaku.
Peristiwanya diduga terjadi 29 Juni 2022.
Kasat Reskrim Polres Jakarta Barat, AKBP Joko Dwi Harsono, kepada pers Jumat 15 Juli 2022 menjelaskan duduk perkara. Dari hasil penyidikan.
KH sudah tujuh tahun jadi satpam di apartemen itu. Sedangkan SF baru tiga bulan bekerja di perusahaan ekspedisi tersebut. KH mengaku ke polisi, sejak SF baru masuk, KH sudah suka pada SF.
Tapi, ya... bagaimana? KH ketuaan. Tentu tidak direspons.
AKBP Joko: "Korban takut. Karena mungkin pelaku lebih tua. Juga, pelaku sudah lama kerja di situ. Senior. Sedangkan, korban karyawan baru. Ruang kantor mereka bersebelahan."
KH mengaku ke polisi, ia sering mendekati SF, tapi tak dihiraukan. Bahkan SF selalu menghindar. Kabur-kaburan. Ibarat lagu Cucakrowo, SF takut. ".... amargo wedi, karo manuke..."
Nah, di tanggal itu KH punya kesempatan. Kebetulan SF di ruang kerja sendirian. Maka, terjadilah.
SF melapor polisi. KH ditangkap polisi di rumahnya, Bojong Raya, Cengkareng, Jakarta Barat. Sudah beristri, beranak (dilahirkan istrinya).
KH dijerat Pasal 6 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Juga, Pasal 289 KUHP dan/atau Pasal 335 KUHP dengan ancaman penjara di atas 5 tahun.
Pasalnya mirip laporan korban polisi tembak polisi, 289 dan 335 KUHP. Pasal pelecehan seks, memang itu.
Sedangkan SF trauma. Kini mendapat pendampingan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Kasus begini sekarang ditanggapi cepat oleh penyidik. Indonesia sudah maju. Beda dengan dulu (satu dekade lalu), kurang diperhatikan aparat hukum. Dianggap hal biasa.
Tapi, di internasional pun juga sama. Dulu kasus begitu diabaikan. Justru wanita disalahkan masyarakat. Dianggap memancing pelecehan seks. Seolah dunia ini milik lelaki. Yang selalu menang.
Dikutip dari Time, 11 April 2016, bertajuk: "A Brief History of Sexual Harassment in America, Before Anita Hill", di Amerika pun, sama. Belum seabad kasus beginian diperhatikan polisi. Dulunya diabaikan.
Ungkapan "pelecehan seksual" (sexual harassment) tercetus pada 1975. Belum setengah abad. Oleh sekelompok wanita di Cornell University, Ithaca, New York, Amerika.
Penulis naskah di Time itu adalah Dr Sascha Cohen, dari Brandeis University, Waltham, Massachusetts, Amerika. Dr Cohen dosen sejarah di situ. Khusus, sejarah sosial budaya Amerika tahun 1970-an. Di sana, dosen mengajar ilmu yang begitu spesifik. Mengerucut sampai pada tahun.
Ditulis Cohen begini: Di Cornell University, 1975. Mantan karyawati Cornell, Carmita Wood, mengajukan klaim tunjangan pengangguran, setelah dia mengundurkan diri dari pekerjaan.
Nona Wood mengundurkan diri, gegara ketika masih kerja di sana, sering disentuh-sentuh oleh atasan pria. Yang jauh lebih tua dari Wood. Mirip di Indonesia, Wood takut cucakrowo, juga.
Setelah mengundurkan diri, dia nganggur. Lalu mengajukan klaim tunjangan pengangguran ke bekas tempat kerja.
Pihak Cornell menolak permintaan Wood. Tidak ada cerita, mengundurkan diri, minta tunjangan. Alasan pihak Cornell, Wood mengundurkan diri. Atas permintaan sendiri. Karena alasan pribadi.
Wood melawan. Dia menggandeng aktivis Human Affairs Office, di universitas tersebut, membentuk sebuah kelompok bernama Working Women United. Tentu, para aktivis wanita. Yang dulu akrab dengan Wood.
Kelompok wanita ini lantas membuat berbagai gerakan. Demo. Orasi. Di depan pabrik-pabrik, di restoran-restoran, di hadapan pramusaji cewek, di setiap tempat kerja yang ada pegawai wanita.
Kelompok Working Women United menyuarakan gerakan wanita, yang merasa pernah diraba-raba atasan pria. Agar berontak. Jangan mau dibegitukan.
Di orasi-orasi itulah, diteriakkan "sexual harassment". Yang buat orang Amerika sendiri, itu istilah baru. Detail sexual harassment diungkapkan detail oleh Nona Wood. Karena ia korban bertahun-tahun.
Ternyata itu mendapat sambutan banyak wanita pekerja. Kekesalan mereka, para korban, termanifestasikan di situ. Karena, mereka lapor polisi juga tidak dihiraukan. Lapor atasan, apalagi. Malah bisa dipecat.
Gerakan kelompok wanita ini 'dapat angin', karena dimuat di koran The New York Times. Terbitan 5 Agustus 1975. Jadi semakin heboh. Di seantero New York. Dan, The New York Times menggunakan istilah kelompok wanita pimpinan Wood: Sexual harassment.
Sejak itu, istilah tersebut ngetop di sana.
Setahun kemudian, Redbook melakukan riset di sana. Hasilnya, bahwa 80 persen responden (pekerja wanita) pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Istilah cetusan Wood itu makin populer. Sampai seantero Amerika.
Lima tahun kemudian, 1980. Hollywood memproduksi film bertajuk "Nine to Five". Berkisah tentang tiga wanita pekerja kantoran. Yang selalu dicolek bokong oleh atasan pria mereka.
Film itu dibintangi tiga aktris cantik Amerika: Jane Fonda, Lily Tomlin, dan Dolly Parton. Dalam cerita, mereka balas dendam kepada bos pria yang melecehkan mereka. Film ini box office. Tapi kurang disukai pria.
Majalah Time meliput insiden besar pelecehan seksual di Yale University dan Harvard University pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Time juga melakukan riset.
Hasilnya, sekitar 18 juta wanita Amerika dilecehkan seksual saat bekerja pada kurun 1979-1980.
Perjuangan itu bukan tanpa hambatan. Ada pria, yang anti-feminis, bernama Phyllis Schlafly. Ia menyuarakan, bahwa wanita sengaja memancing situasi, sehingga terjadilah pelecehan seksual.
Ucapan Schlafly yang terkenal sampai sekarang: "Wanita yang berbudi luhur, tidak mungkin dilecehkan pria."
Tapi, istilah budi luhur itu abstrak. Tidak digambarkan detil oleh Schlafly. Apakah itu berarti anggun, atau cerdas, atau bagaimana?
Pernyataan Schlafly ditentang oleh banyak kelompok feminis yang kemudian bermunculan di Amerika. Schlafly kalah suara. Akhirnya, dibentuklah undang-undang yang mengatur pelecehan seks.
Indonesia mengikuti Amerika. Yang walau sudah mengikuti, tapi dalam pelaksanaan hukum, awalnya tidak signifikan. Penyidik kurang respons. Malah, setuju dengan pendapat Schlafly. Dalam ucapan yang berbeda.
Tapi, kini tidak begitu lagi. Kini polisi cepat tanggap, menangani kasus pelecehan seksual. Apalagi sejak Herry Wirawan dihukum mati. Dan, pengurus ponpes di Jombang, Mas Bechi tak bisa ngumpet lagi.
Sesungguhnya, pria tidak suka ada pasal hukum yang menghukum pelaku pelecehan seksual. Dalam posisi mereka sebagai lelaki. Tentu saja.
Tapi, lelaki bakal langsung setuju pasal itu, jika seumpama anak gadisnya dilecehkan, apalagi sampai diperkosa orang. Bakal hancurlah hatinya.
Jadi, semua orang sejatinya hanya ingin menang sendiri. (*)
Penulis adalah Wartawan Senior
Advertisement