Catatan Mudik Kopi: Tentang Kopi Tentang Pulang ke Rumah Simbah
Liburan sudah ditabuh. Keras banget. Saking kerasnya orang malah tidak kaget. Tak satu pun. Padahal suaranya melebihi mercon yang disumet orang-orang iseng menjelang subuh. Waktu sahur atau sesudah sahur. Yang terlihat, orang-orang itu malah ikut menabuhnya. Termasuk saya, anak-anak saya, juga handai tolan semuanya.
Ya sudah, saya ikut libur. Padahal tak pernah ada namanya jurnalis itu libur. Di mana-mana, juga di Indonesia. Adanya bukan libur, tapi membolos. Begitu kata Pemimpin Redaksi saya, yang Arab yang tinggalnya juga di Kampung Arab. Sebelah Timur Surabaya sana. Toh ini juga mau lebaran. Musimnya mudik. Siapa yang tidak mau mudik?
Karena kopi, karena kita punya ngopibareng.id, semua kontennya bernama depan ngopi, saya mencoba liburan ini tak sekadar liburan dan mudik. Harus ada kopinya. Kudu onok acara ngopine, biar liburan ini sahih. Atau apalah namanya. Biar jurnalis yang lagi nganggur ini punya cerita yang bisa dikisahkan. Tidak hanya berpangku tangan, makan liburan.
Perjalanan ke arah barat. Menjajal jalan Tol Sumo hingga Solo Raya. Hanya 2,5 jam, kecepatan konstan 80 km/jam. Beberapa kali menyalib. Kecepatan naik sedikit menjadi 100 Km/jam. Lalu gas dikendorkan, stabil lagi 80 km/jam.
Itu saja rasanya sudah seperti anak panah Arjuna. Mak clorottt dan melesat cepat. Walau kecepatan hanya sesuai petunjuk rambu-rambu jalan tol. Di samping saya, was wes was wes, jauh lebih melesat. Tidak takut ban mbledos apa. Dan, 2,5 jam itu rasanya juga hanya seperti sedang menyantap sepiring bakmi pedas. Belum selesai pedasnya sudah bisa turun di pintu tol Solo kota.
Rupanya saya mengenal betul pintu tol Kota Solo ini. Berada di perbatasan 3 wilayah sekaligus. Mungkin juga sedikit nyerempet 1 wilayah lagi. Persis di bawah jembatan dan pintu tol itu ada tugu boto. Tugu kuno. Dari batu bata. Sebagai pembatas desa. Sebelum tugu adalah Klodran, wilayah Kabupaten Karanganyar. Setelah tugu masuk Banyudono, Kabupaten Boyolali.
Keluar pintu tol adalah pertigaan. Ke kanan adalah menuju Colomadu dan Bandar Udara Adi Sumarmo. Masuk wilayah Kabupaten Sukoharjo. Sementara bandara udaranya mengiris wilayah Boyolali. Pintu tol ke kiri adalah wilayah Kota Solo. Desa paling dekat adalah Sumbersari, di situ pula rumah asli Jokowi berada. Jokowi yang Mr. Presiden itu. Jokowi yang dulu pernah saya kenal jadi juragan kayu, lalu Wali Kota Solo itu.
Berputar masuk Kota Solo dulu. Menembus kemacetan jalan-jalan kecil Solo. Menjajal flyover baru di depan Stadion Manahan itu. Yang lucu itu. Di tengah flyover ada pertigaannya. Yang menurut saya rawan, cukup membahayakan. Bisa srondolan kalau tak biasa. Atau karena gelagapan dari arah kiri tiba-tiba nyelonong kendaraan. Emm... Soto Gading jadi pilihan kulineran. Soto lawas soto legenda di Selatan Keraton Solo. Cobalah kalau ragu untuk percaya soal kelegendaannya.
Saatnya ngopi sudah tiba. Tinggalkan Kota Solo, bergeser ke Barat sedikit. Menuju ke Klaten. Kabupaten kecil di wilayah Selatan Jawa Tengah. Kabupaten yang menjadi "ibu" juga "bapak" atau asal muasal pedagang angkringan di wilayah Klaten ke Barat, dan hiks di wilayah Klaten ke Timur. Kalau ke Utara, ke Magelang hingga Semarang, mereka akur, namanya satu: angkringan.
Di Klaten, muncul roastery ternama. Belum lama. Tapi namanya seperti sudah melekat lama. Lama, idiom lama, bahasa kekinian sering menyebutnya tua. Tua tapi baru. Jadinya: Tua Baru. Bukan dibalik, baru tua! Rasanya jauh berbeda kan? Ndilalah roastery Klaten itu menyebut namanya sebagai "Nggone Mbahmu". Klop lah, benar-benar Tua Baru.
Purnama Sidi, pemilik Coffee Roaster Nggone Mbahmu itu. Ramahnya bukan main. Khas Jawa tulen. Tiada duanya. Keramahannya seramah bangunan coffee roaster yang dibangunnya itu. Adem. Bersahabat. Seperti pulang ke rumah kuno milik simbah. Tempat memadu ingatan dan nostalgi.
Paling penting dari semua itu adalah menjadi betah ngopi. Ngopi apa saja, termasuk ngopi cerita keren yang dituturkan Purnama Sidi terkait kisah kopinya.
Kopi-kopinya juga diberi merk unik. Andalannya mengenalkan kopi lokal. Kopi Klaten. Klaten punya kopi?
Punyalah! Di utara sana. Di gugusan Gunung Merapi sana. Di ereng-erengnya sana. Itu wilayah Klaten. Orang tahunya Merapi hanya milik Jogjakarta. Padahal di sana masih ada wilayah Klaten, juga Boyolali, lalu Magelang. Kata dia, kata Purnomo Sidi, penuh canda, penuh nada, penekanan, dan heroisme khas kopi.
Pantas betul Nggone Mbahmu itu. Kopi lokalnya diberi judul Kopi Mbah Joyo, Kopi Mbah Karya, dan Kopi Mbah Mitro. Seperti apa citarasa ketiganya?
Emm... seperti kalau kita sudah sungkem sama simbah sendiri. Lalu dipeluk kita sama simbah. Diberi nasehat. Diberi keteduhan. Lalu tangan simbah ngudari bundelan stagennya. Loloslah beberapa rupiah dari bundelan itu. Diberi sangu, diberi rindu. (widikamidi/bersambung)
Advertisement