Catatan Mendebarkan! Sejenak Mengenang Jalaluddin Rumi Pulang
Salah seorang pujangga agung, tokoh Sufi terkemuka dalam Tarekat Maulawiyah, Maulana Jalaluddin Rumi mempunyai perjalanan panjang dari Afghanistan hingga ke Konya, Turki. Di Negeri terakhir inilah, ia dimakamkan dan dikenang banyak orang hingga kini.
Di antara kiai pesantren yang mempunyai perhatian terhadap Jalaluddin Rumi adalah KH Husein Muhammad. Sabahat Gus Dur yang satu ini, bahkan pernah mengunjungi makam Sang Tokoh yang terkenal karena Tarian Darwis itu. Sebagaimana ditulis dalam catatan berikut:
Sampai di depan pintu itu, aku berhenti sejenak. Ada bayangan yang tiba-tiba melintas begitu saja di kepalaku. Aku membayangkan suasana saat-saat Maulana wafat. Dunia tenggelam dalam duka nestapa. Mereka menangis tersedu-sedu, kehilangan kekasih dan pujaan hatinya. Aku telah membaca sebuah buku : “Min Balkh Ila Konya”, yang ditulis Badi’ al-Zaman Furuzanfar, spesialis Rumi dari Iran, Persia. Ia menceritakan situasi kepulangan Maulana itu seperti ini :
اهل المدينة من صغير وكبير أخذوا جميعا بالتفجع والتأوه والصياح. الريفيون كذلك من الروم والترك, شقوا جيوبهم ألما عليه. حضر الجميع جنازته حبا له وعشقا. أهل كل دين صادقون فى محبتهم إياه. أناس كل أمة عاشقون له. قال قوم عيسى : إنه عيسانا. وقال قوم موسى : إنه موسانا. وقال المسلمون : إنه خلاصة الرسول ونوره . قالوا : إنه بحر عظيم وعميق
Seluruh penduduk kota, besar, kecil, laki-laki dan perempuan berduka cita, tersedu-sedu, histeris
Orang-orang desa dari Roma dan Turki merobek-robek bajunya, mengekspresikan luka jiwa yang mendalam.
Mereka hadir mengantarkan jenazahnya, dalam suasana hati yang mencinta dan merindu
Para pemeluk berbagai agama sangat dan sungguh mencintainya. Semua bangsa merindukannya
Kaum Nasrani meneriakkan : “oh, (penerus) Isa ku”.
Kaum Yahudi meneriakkan : “O, (penerus) Musaku”.
Kaum Muslim menyebut : “O, engkau pamungkas penerus Nabi Muhammad dan pantulan cahayanya.
Engkaulah samudera nan maha luas,
maha dalam”.
Sampai kata-kata ini menunduk. Mataku tiba-tiba mengembang air bening. Hatiku diliputi rasa pilu dan rindu pada Maulana.
Lanjutan Kisah Rumi
Sementara Sultan Walad, putra tertua Maulana Rumi, sekaligus pendiri Tarekat Maulawiyah, bercerita dalam puisinya yang indah:
واستمر الامر هكذا لاربعين يوما
لم تخبُ لحظة الاشواقُ والحُرق
ثم بعد الاربعين يوما مضوا الى منازلهم
صاروا جميعا منشغلين بهذه الحكاية
كان حديثهم نهارا وليلا
إن ذلك الكنز غدا دفينا تحت التراب
وذكر احواله وحياته
وذكر اقواله وكلا مه الشبيه بالدرر
وذكر خلقه اللطيف الذى لا مثيل له
وذكر خلقه الشريف الذى لا مثيل له
وذكر محبته لله وتجريده
وذكر سكره فى محبة الحق وصدق توحيده
وذكر تنزهه عن هذه الدنيا
وكلية رغبته بالعقبى
وذكر لطفه وتواضعه وكرمه
وذكر حاله وسماعه الشبيه بحدائق إرم
Suasana perkabungan itu berlangsung 40 hari
Tak sedetikpun hari tanpa kerinduan dan terbakar
Bila empat puluh hari telah lewat
Mereka kembali ke rumah masing-masing
Sambil terus bercerita tentang Maulana, sang kekasih
Saban malam, saban siang, itulah perbincangan mereka
Esok lumbung kearifan itu tertanam di bawah lempung
Mereka menyebut-nyebut sepakterjang dan kehidupannya
Menyebut-nyebut kata-kata dan ucapan-ucapannya yang bak permata
Menyebut-nyebut budinya yang lembut, tanpa tandingan
Menyebut-nyebut budinya yang luhur, tanpa saingan
Menuturkan cintanya kepada Tuhan dan keintiman dia bersama-Nya
Menuturkan mabuk cinta kepada-Nya dan kemurnian meng-Esa-kan-Nya
Menuturkan ketaktergantungannya pada kehidupan di sini
Cintanya tertumoah seluruh pada kehidupan kelak nan abadi
Menuturkan kehalusan budi, rendah-hati dan keanggunannya
Menuturkan tingkahnya dan tarian sama’ bagai taman-taman di Iram
Akan tetapi detik-detik menjelang pulang maulana berpesan kepada para pecintanya :
لَا تَقُلْ "وِدَاعًا وِدَاعًا" حِيْنَمَا وُضِعْتُ فِي التُّرابِ فَهُوَ حِجَابٌ لِلرَّحْمَةِ الأَبَدِيَّةِ أَنْتَ رَأَيْتَ "النُّزُولْ " فَانْظُرْ الآنَ إِلَى الصُّعُودِ !
Jangan katakan, “Selamat tinggal”
Ketika aku dimasukkan ke liang lahat
Itu adalah tirai rahmat yang abadi!
Kau melihat tubuhku diturunkan
Tapi lihatlah!
Kini ia naik ke puncak cakrawala
Bila datang ke makamku
Untuk mengunjungiku
Jangan datang tanpa genderang
Karena pada perjamuan Tuhan,
Orang berduka tidak diberi tempat
Seluruh peristiwa kepulangan Maulana di atas, aku merasakan sama dengan suasana saat pulangnya Gus Dur, 30 Desember 2009 lalu, yang hingga kini masih terus dikenang masyarakat di negeri ini dan diperingati di mana-mana. Al-Fatihah.
Aku menulis puisi di atas dalam buku yang aku launching pada 1000 hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid di Ciganjur, berjudul “Sang Zahid. Mengarungi Sufisme Gus Dur” yang kemudian diganti menjadi “Samudera Kezuhudan Gus Dur”.
(KH Husein Muhamad, 26.08.2021/HM)
Advertisement