Catatan Lama Derek Manangka: Lion Air Sebenarnya Milik Siapa?
Kalau benar perusahaan penerbangan Lion Air bukan milik pengusaha Indonesia Rusdi Kirana, melainkan kepunyaan pengusaha Singapura, maka fakta ini merupakan sebuah persoalan besar dan pelanggaran serius. Menyatu di dalamnya pelanggaran etika, baik dari segi bisnis maupun dari sudut kejujuran.
Oleh sebab itu untuk tidak terlanjur menimbulkan spekulasi dan tanda tanya, harus ada klarifikasi atau kejelasan dari berbagai pihak.
Yang patut memberikan klarifikasi, Kementerian Perhubungan RI, Rusdi Kirana sebagai pihak yang mengaku selaku pemilik dan tentu yang terakhir pengusaha atau pihak Singapura yang dicurigai bersembunyi di ruang kebohongan.
Klarifikasi ini penting oleh karena beberapa hal. Seperti berhasilnya Lion Air menguasai bandara militer Halim Perdana Kusumah, telah menimbulkan kecurigaan publik terhadap institusi TNI AU.
Lembaga negara yang merupakan salah satu pilar dan sayap penjaga kedaulatan udara Indonesia, diakali oleh para pakar pebinis. Dan TNI AU yang para pemimpin atau pimpinannya bukanlah ahli dagang dan bisinis, berhasil diperdaya oleh Lion Air.
Namun yang disorot dan dikritisi sekarang adalah lembaga negara itu sendiri. Pimpinan lembaga TNI AU ini mungkin sebentar lagi akan dimintai pertanggung jawabannya.
Jika benar Lion Air milik pengusaha Singapura ataupun pemerintah Singapura, maka keberhasilannya menguasai bandara militer Indonesia dapat dikategorikan sebagai sebuah kegiatan infiltrasi dan sabotase. Dua kegiatan ini merupakan pelanggaran kedaulatan atas teritori Indonesia.
Tindakan ini melebihi, lebih jahat dari apa yang dilakukan dua marinir Indonesia Usman dan Harun di tahun 1965. Dimana sebagai pasukan katak, mereka menyusup ke pulau Singapura untuk melakukan aksi sabotase.
Tapi tindakan sabotase itu merupakan bagian dari perang antar dua negara yang sedang bereskalasi -sebagai akibat dan imbas dari Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Usman dan Harun akhirnya dihukum mati pemerintah Singapura dengan cara menggantung leher mereka di tiang gantungan.
Sekaligus diklarifikasi tentang kesan bahwa Lion Air kurang responsif atau lalai dalam bertanggung jawab terhadap keluhan sejumlah penumpang. Keluhan itu banyak terletak pada kelambatan di jam pemberangkatan maupun kedatangan.
Tidak tepatnya waktu pemberangkatan sebuah penerbangan, tak boleh dilihat hanya dari sisi keterlambatan saja. Tapi harus menyatu di dalamnya soal jaminan keselamatan penumpang.
Sebab bisa saja penumpang yang terkatung-katung di ruang tunggu, tidak terselamatkan nyawanya. Seperti meninggal dunia di tempat sebagai akibat dari stress, menunggu dan kelelahan atau tidak mengkonsumsi makanan yang cocok.
Klarifikasi ataupun pemeriksaan terhadap Rusdi Kirana selaku sosok yang mengaku sebagai pemilik Lion Air, semakin mendesak untuk mencegah rumor yang sudah lama beredar.
Bahwa Rusdi Kirana yang sebelumnya hanya menangani bisnis Travel Agent, tidak mungkin secara tiba-tiba punya kemampuan membeli 461 unit pesawat dari Boeing dan Airbus. Terutama karena selama ini belum pernah terjadi seorang pengusaha travel kelas menengah tiba-tiba membelanjakan miliyaran dolar untuk pengadaan armada.
Walaupun membeli itu merupakan hak azasi manusia-nya Rusdi Kirana, tapi adalah wajib bagi pihak perbankan atau otoritas keuangan curiga dan memeriksa seorang yang tiba-tiba menjadi kaya raya menddak.
Kecurigaan itu perlu, dalam rangka pencegahan kegiatan pencucian uang (money laundry).
Pemeriksaan terhadap Rusdi Kirana juga diperlukan untuk menjaga nama baiknya. Sebab status sosialnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), tak boleh punya cacat.
Lembaga terhormat yang hanya terdiri atas 9 orang itu, harus dijaga kehormatan dan reputasinya. Seorang anggota penasehat Presiden, sudah sepantasnya diberi perlindungan dari berbagai tudingan dan rumor.
Semoga saja Lion Air bukan milik pengusaha apalagi pemerintah Singapura. Artinya tidak ada dusta atau kebohongan antara Singapura dan Indonesia.
Namun jika benar Lion Air merupakan milik warga negara tetangga itu, berarti pihak perusahaan penerbangan ini telah melakukan penghindaran pajak (tax avoiding).
Dan penghindaran pajak merupakan tindakan kriminal. Untuk sementara kita tetap berfikir dan bersikap positif. Bahwa Rusdi Kirana dan Lion Air-nya, tidak melakukan kegiatan yang bersifat "henky-penky".
Namun klarifikasi atas status Lion Air, harus segera diperjelas. Otoritas yang mengatur bisnis penerbangan jangan meremeh temehkan persoalan Lion Air.
Sebab selain hal-hal yang disampaikan di atas, kita selalu dihantui oleh adanya berbagai persoalan psikologis dalam hubungan bilateral Indonesia-Singapura.
Misalnya dalam berbagai bisnis Singapura selalu bersikap protektif. Tetapi kepada Indonesia, Singapura selalu meminta keterbukaan.
Di dunia perbankan misalnya, sebagaimana dikeluhkan oleh bankir pemerintah, sangat sulit bagi bank-bank BUMN kita mendapatkan izin operasi di negara tetangga tersebut.
Dalam hal ini, Singapura tidak mau memberlakukan hubungan yang bersifat "reciprocal".
Dalam bisnis penerbangan, Singapura lebih banyak "memperoleh" ketimbang "memberi".
Ini dibuktikan oleh beroperasinya perusahaan penerbangan "Silk Air" di berbagai kota provinsi di Indonesia. Induk perusahaannya sendiri "Singapore Airlines" juga melayani sejumlah rute gemuk di 5 kota utama Indonesia: Jakarta, Denpasar, Surabaya, Bandung dan Medan.
Dan hal ini pula yang memunculkan kecurigaan. Jangan-jangan Singapura sengaja menciptakan "Penerbangan Singa" (Lion Air) agar negara tetangga itu bisa menguasai seluruh jalur domestik Indonesia yang selama ini masih dikuasai oleh Garuda.
Maka dilahirkanlah Lion Air yang gambar logonya mengingatkan patung singa yang terkenal memuncratkan air dari mulutnya.
*) Penulis adalah jurnalis senior. Beliau wafat 28 Mei 2018.
Advertisement