Catatan Akhir Tahun: Tumpang Tindih Regulasi Pemanfaatan Ruang Laut
Oleh: Oki Lukito
Undang Undang (UU) Cipta Kerja mengamanatkan semua daerah wajib membuat Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Implementasinya dituangkan dalam peraturan daerah atau Perda yang mengintegrasikan tata ruang darat dan laut. Namanya Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku 10 tahun.
Dalam perjalanan waktu sejak ditetapkan UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mendapat ‘perlawanan’ dari sejumlah daerah. Terutama mengenai pemanfaatan ruang laut. UU Cipta kerja ini dianggap mengintervensi kewenangan daerah. UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan pemerintah provinsi mempunyai kewenangan mengelola lautnya 0-12 mil. Hal tersebut bertentaangan dengan ketentuan yang tercantum di Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen) KP Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut. Regulasi ini melaksanakan Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2021 tentang penyelenggaraan tata ruang yang mengacu pada UU Cipta Kerja.
Ketentuan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau disingkat PKKPRL merupakan persyaratan dasar untuk melakukan kegiatan di ruang laut, baik untuk kegiatan berusaha maupun non berusaha. PKKPRL dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hal inilah yang dianggap mengintervensi kewenangan daerah. Sejumlah daerah yang diwakili Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan beberapa waktu lalu berkumpul di Surabaya, sepakat mengeluarkan nota bernada protes kepada Menteri KP terkait PKKPRL.Alasannya, sesuai UU 23/2014 semua aktivitas 0-12 mil adalah kewenangan pemerintah daerah provinsi sehingga semua perijinan seharusnya dikeluarkan oleh provinsi.
Bukan hanya Dinas Kelautan dan Perikanan mempersoalkan PKKPRL. Di Jawa Timur instansi pemerintah lainnya dari unsur Kementerian Perhubungan yang diwakili oleh Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjung Perak, Surabaya menolak menandatangani dokumen Materi Teknis Perairan Pesisir (MTPP) 2022. Dokumen MTPP merupakan revisi Peraturan Daerah No 1 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang ditandatangani Menteri Kelautan dan Perikanan sebelum diintegrasikan ke dalam Perda RTRW Provinsi. Dasar penolakan KSOP Utama Tanjung Perak dan KSOP daerah lainnya yaitu surat dari Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi No AL 306/1/3 PHB 2022, tanggal 14 Juli 2022 ditujukan kepada Menteri KP perihal Pengecualian Kegiatan Transportasi Laut di DLKp/DLKr Pelabuhan dan Alur Pelayaran.
Beroperasi Tanpa Ijin
Dampaknya, semua pelabuhan milik BUMN mengabaikan PKKPRL dengan alasan sudah terikat konsesi dengan Kementerian Perhubungan. Demikian pula aktivitas dredging dan dumping yang dilakukan anak perusahaan PT. Pelindo di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) hingga saat ini tidak memiliki PKKPRL. Perusahaan mengacu pada SK Persetujuan Kegiatan Kerja Keruk dari Ditjen Perhubungan Laut tertanggal 15 Desember 2023. Sedangkan lokasi dumping berdasarkan ijin yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK 331/MENLHK/SETJEN/PLA.4/4/2023. Hal tersebut jelas tumpang tindih dengan Permen KP no 28 tahun 2021 serta Perda No 10 tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Timur tahun 2023-2043 yang mewajibkan semua aktivitas di laut memiliki PKKPRL tidak terkecuali aktivitas pengerukan dan pembuangan limbah (dumping). Termasuk pula usaha Galangan Kapal yang menyewa lahan milik Pelindo di Tanjung Perak, Surabaya beroperasi tanpa ijin PKKPRL.
Pembangkangan UU Cipta Kerja sekaligus menampar KKP juga dilakukan oleh Kementerian ATR-BPN. Pasal 65 ayat 2 Peraturan Pemerintah No 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah implementasi UU Cipta Kerja juga tidak berlaku bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATRBPN). Bunyi ayat 2, pemberian Hak Atas Tanah di wilayah perairan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku bagi ATR BPN. Kementerian ini memberikan sertifikat hak atas tanah kepada 525 Suku Bajo di kampung Mola, Wakatobi di Sulawesi Tenggara yang tinggal di atas air atau di laut.
Perlu dicatat UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil di judicial review dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.
Keputusan Mahkamah Konstitusi mempertegas bahwa pemberian hak (hak kebendaan) di laut berubah menjadi pemberian perizinan. Bentuk hak-hak atas tanah yang lain, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, atau pun hak lainnya tidak dapat diberikan di perairan pesisir dan perairan sekitar pulau kecil. Pemanfaatannya melalui mekanisme perizinan lokasi dan izin pengelolaan sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007.
Double PNBP
Sejumlah pengusaha juga mengeluh dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus PKKPRL. Shrimp Club Indonesia (SCI) mengakui, anggotanya selain membayar PNBP untuk pipa outlet dan inlet rata rata Rp 800 ribu juga wajib membayar konsultan, biayanya Rp 60-65 juta. Biaya akan berlipat jika posisi tambak udang berada di wilayah tertentu atau berada di Kawasan Strategis Nasional yang memerlukan rekomendasi instansi tertentu pula. Biaya tinggi ini memicu sejumlah perusahaan tambak udang tidak mengurus PKKPRL. Contoh tambak udang di Desa Mrandung Kecamatan Klampis Bangkalan enggan mengurus PKKPRL karena perkiraan biaya mahal. Tambak udang yang melakukan reklamasi tanpa ijin seluas 3,3 hektar ini diprediksi terkena denda administrasi ratusan juta karena reklamasi ilegal, membayar PNBP Rp 18,3 juta per hektar serta biaya lainnya untuk mendapatkan rekomendasi instansi di luar Pemprov Jatim.
Menurut data yang diperoleh dari Citra Satelit dan Badan Informasi Geospasial (BIG) PT. Tanjung Bumi Akuakultur (TBAI) menempati areal darat di Desa Mrandung, Kecamatan Klampis, Kabupaten Bangkalan seluas 37,83 Ha. Sedangkan di wilayah laut perusahaan yang bergerak di budidaya udang vaname tersebut terdeteksi memperluas usahanya dengan mereklamasi laut 40-150 meter dengan luas 3,37 Ha. Walaupun tidak mempunyai KPPRL, usaha tersebut tetap berjalan kendati sudah mendapat peringatan dari BPSPL
Biaya tinggi pengurusan PKKPRL dikeluhkan pengusaha Galangan Kapal di Madura, Lamongan yang harus memperoleh rekom dari instansi jajaran samping. Disamping itu industri Galangan Kapal juga membayar PNBP dua kali alias double, PNBP TERSUS /TUKs dan PNBP ijin PKKPRL. Biaya lainnya yang dikeluarkan industri Galangan Kapal antara lain, denda admiistrasi karena terlanjur mereklamasi laut, AMDAL serta izin reklamasi dan izin operasional. Jumlahnya bisa mencapai Rp 2-3 miliar.
*Oki Lukito, Dewan Pakar PWI Jawa Timur.
Advertisement