Cara Sugiri Sancoko Merayu Birokrasi di Ponorogo
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko punya banyak akal. Tak hanya dalam menaklukkan petahana saat pemilihan bupati, tapi juga dalam membangun teamwork di pemerintahannya. Cara merayu birokrasi.
Lho kok bisa? Ya. Ia punya cara unik untuk menaklukkan birokrasi dalam waktu cepat. Caranya? Dengan mengunjungi rumahnya satu per satu. Berkunjung secara informal dan tanpa direncanakan.
Tak tanggung-tanggung. Hanya dalam waktu sebulan sejak dilantik, ia sudah kunjungi 16 rumah kepala dinas Pemkab Ponorogo. Tak hanya di ruang tamu, tapi juga sampai masuk kamar mandinya.
Lah, ngapain sampai ke kamar mandi? "Kebersihan kamar mandi seseorang itu mencerminkan kepribadian orang tersebut. Apakah ia orang yang rapi atau tidak," katanya.
Dari kunjungan ke rumahnya, ia juga bisa mengukur kekayaan anak buahnya. Wajar atau tidak. Penampilannya di kantor sesuai dengan yang di rumah atau tidak. Ada yang disembunyinha atau tidak.
Due deligent personal. Begitulah kira-kira.
Sugiri memang merasa tidak punya waktu banyak untuk membuat gebrakan perubahan di Ponorogo. Karena itu, ia perlu teamwork yang kuat. Birokrasi yang bisa diajak lari kencang.
Makanya ia tak mau main-main dengan soal yang satu ini. Apalagi dengan APBD yang tak begitu berlebihan untuk membuat berbagai gebrakan.
Pengalamannya sebagai anggota DPRD Jatim menjadi bekal banyak hal saat menjadi bupati. Mulai dari pendekatan terhadap birokrasi sampai dengan strategi penganggaran.
"Saya dulu pernah di Badan Anggaran. Karena itu, saya tahu bagaimana seluk belum masing-masing dinas dalam menyusun anggarannya," tuturnya.
Baginya tidak cukup hanya dukungan publik untuk mengubah Ponorogo. Ia harus mendapat dukungan penuh birokrasi yang menopangnya.
Soal dukungan publik, ia pun punya cara unik. Lah bagaimana lagi? Ia selalu menyempatkan setiap hari datang ke warung kopi. Menyapa warga hingga membayari mereka di warkop itu.
Ia juga tak segan mendatangi warganya yang sedang punya hajat mantu. Meski rumahnya di puncak gunung yang jauh dari pusat kota Reog Ponoroho tempat ia tinggal.
Apalagi, di daerah ini masih ada tradisi warganya "nonjok" alias mengirim bingkisan ke bupatinya. Tonjokoan itu berisi makanan yang enak-enak.
"Kadang-kadang saya hitung nilai tonjokan itu bisa sampai sejuta rupiah. Mulao dari ayam ingkung utuh, daging sapi besar-besar, sampai buah-buahan," tambahnya.
Kalau sudah mendapat kiriman "tonjokan" seperti itu, maka ia harus membalas dengan datang. Meski itu rumahnya di pegunungan yanb jauh dari kota. Juga harus buwuh alias menyumbang uang.
Menjadi pejabat daerah memang tidak hanya mengurus hal-hal yang formal. Mengurus pemerintahan di belakang meja. Juga harus merawat hubungan sosial dengan warganya.
Sehingga, seringkali kebutuhan besar bagi seorang kepala daerah adalah biaya sosial. Biaya untuk menyumbang warganya yang sedang punya hajat maupun saat kesusahan.
Tapi bagi Giri --demikian Bupati Sugiri Sancoko biasa dipanggil-- itu menjadi kewajiban sosial yang harus dijalankan. Apalagi ia tak hanya ingin menjadi bupati biasa. Tapi bupati yang bisa mengubah wajah daerahnya.
Ada banyak cara ia menggaet kebersamaan publik dan birokrasi. Merayu birokrasi untuk berlari kencang. Terkadang tidak terduga.
Ia punya banyak cara. Sebab, pada dasarnya ia adalah bupati yang dulu berkecimpung di dunia kreatif. Bupati yang sudah terbiasa mencari celah saat susah.