Cara Menjawab Salam kepada Muslim dan Non-Muslim, Ini Tuntunannya
Dalam kehidupan bermasyarakat kita, salam telah menjadi bagian dari setiap pergaulan. Baik ketika awal berjumpa maupun pada saat berpidato.
"Ustad, saya ingin mendapat penjelasan, bagaimana bila yang mengucapkan salam itu seorang non-Muslim kepada kita, yang Muslim? Apakah jawabannya harus beda atau bagaimana?," tanya Intansari, warga Kandangan, Surabaya, pada Redaksi ngopibareng.id.
Untuk menanggapi hal itu, berikut jawaban Syaikh Nawawi Al-Bantani, ulama legendaris di Nusantara, sebagaimana dituturkan Ustadz Yazid Muttaqin:
Syariat Islam mengatur sedemikian rupa cara membalas penghormatan yang diberikan oleh seseorang. Ketika seseorang menerima penghormatan dari lainnya ia diperintahkan untuk membalas penghormatan itu dengan penghormatan yang lebih baik atau minimal dengan penghormatan yang sepadan dengan penghormatan yang diterima.
"Pada akhirnya Syekh Nawawi mengutip sebuah pendapat yang menyatakan bahwa membalas salam dengan balasan yang lebih baik itu berlaku bila orang yang beruluk salam seorang muslim. Sedangkan bila yang bersalam adalah orang non-Muslim maka membalasnya cukup dengan yang sepadan."
Ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam Surat An-Nisa ayat 86:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: “Dan apabila kalian diberi penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah dengan penghormatan yang sepadan.”
Syekh Nawawi Banten di dalam kitab tafsirnya Marâh Labîd atau yang juga dikenal dengan nama Tafsîr Al-Munîr menjelaskan ayat di atas secara panjang lebar. Menurut ulama asli Indonesia ini ayat tersebut mengajarkan bahwa apabila kalian diberi salam oleh seseorang maka balaslah orang yang beruluk salam itu dengan balasan salam yang lebih baik darinya, atau balaslah salam tersebut dengan salam yang sepadan.
Secara teknis Syekh Nawawi merinci bagaimana membalas salam dengan yang lebih baik. Bila seseorang disalami dengan kalimat assalâmu’alaikum hendaknya dijawab dengan kalimat wa’alaikumussalâm wa rahmatullah. Sedangkan bila yang beruluk salam mengucapkan assalâmu’alaikum wa rahmatuulâh maka hendaknya dijawab dengan kalimat wa’alaikumussalâm wa rahmatullâhi wa barakâtuh. Namun bila sang pemberi salam mengucapkan secara penuh kalimat assalâmu’alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh maka jawabannya sama dengan salam tersebut yakni wa’alaikumussalâm wa rahmatullâhi wa barakâtuh. Jawaban semacam ini adalah jawaban yang paling mentok dalam membalas ucapan salam seseorang, karena demikianlah salam yang dibaca di dalam bacaan tasyahud.
Lebih lanjut Syekh Nawawi menjelaskan bahwa hukum menjawab salam adalah wajib. Namun bila salam itu ditujukan kepada sekelompok orang maka hukum menjawabnya adalah wajib kifayah di mana apabila ada sebagian orang yang menjawab maka gugurlah kewajiban menjawab bagi sebagian lainnya. Meski demikian akan lebih baik dan utama bila setiap orang yang ada dalam kelompok itu menjawab salam yang ditujukan kepada mereka untuk menampilkan rasa hormat dan membesarkan penghormatan itu kepada pemberi salam.
Adapun tidak membalas salam adalah sebuah penghinaan, dan penghinaan merupakan tindakan yang membawa kemudaratan. Sedangkan tindakan mudarat adalah perilaku yang diharamkan. Demikian menurut Syekh Nawawi. Ya, ketika seseorang dengan begitu tulus beruluk salam kepada orang lain namun salam tersebut tak berbalas maka bisa jadi hal itu akan menyakiti hatinya dan melahirkan prasangka buruk terhadap orang yang disalami. Hal ini tentu sangat dilarang oleh Islam dan karenanya tidak membalas salam adalah haram hukumnya.
Lalu bagaimana bila yang beruluk salam adalah seorang non-Muslim, wajibkah membalas salamnya? Dan bolehkah mengawali salam kepada mereka?
Syekh Nawawi di dalam kitab yang sama mengutip beberapa hadits dan pendapat para ulama tentang hal ini.
Sebuah hadits yang dikutip oleh beliau bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تبدأ اليهودي بالسلام وإذا بدأك فقل وعليك
Artinya: “Jangan kau awali orang Yahudi dengan salam dan bila ia mengawalimu maka jawablah dengan berkata “wa ‘alaika”.”
Abu Yusuf berpendapat, “Jangan kalian bersalam kepada mereka dan jangan pula kalian bersalaman tangan dengan mereka. Bila kalian masuk di tengah-tengah mereka maka ucapkanlah assalâmu ‘alâ man taba’al hudâ (kesejahteraan bagi orang yang mengikuti petunjuk).”
Sementara sebagian ulama memberikan keringanan memperbolehkan mendahului beruluk salam kepada non-Muslim bila diperlukan. Adapun bila mereka memulai lebih dahulu bersalam kepada kita maka kebanyakan ulama berpendapat bahwa seyogianya salam itu dibalas dengan ucapan wa ‘alaika.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa salam bersabda:
إذا سلم عليكم أهل الكتاب فقولوا وعليكم
Artinya: “Apabila ahli kitab bersalam kepada kalian maka ucapkanlah wa ‘alaikum.”
Dari penjelasan di atas kiranya cukup bisa dipahami bahwa diperbolehkan menjawab salam yang disampaikan oleh seorang non-Muslim dan cukuplah dengan ucapan wa ‘alaika atau wa ‘alaikum.
Bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
Salam dari non-Muslim: Assalâmu’alaikum (semoga keselamatan atasmu).
Jawaban: Wa ‘alaikum (semoga atasmu juga).
Pertanyaan berikutnya adalah, bolehkah menjawab salam kepada non-Muslim dengan mengikutsertakan kalimat wa rahmatullâh?
Imam Al-Hasan dalam hal ini berpendapat, diperbolehkan menjawab salam kepada seorang non-Muslim dengan kalimat wa ‘alaikumussalâm, namun tidak diperbolehkan menambahinya dengan kalimat wa rahmatullâh. Ini dikarenakan rahmat Allah adalah ampunan-Nya. Sedangkan tidak boleh seorang muslim memintakan ampunan bagi seorang non-Muslim.
Pada akhirnya Syekh Nawawi mengutip sebuah pendapat yang menyatakan bahwa membalas salam dengan balasan yang lebih baik itu berlaku bila orang yang beruluk salam seorang muslim. Sedangkan bila yang bersalam adalah orang non-Muslim maka membalasnya cukup dengan yang sepadan.
Wallâhu a’lam.(adi-nuo)