Cara Indah Menyikapi Budaya yang Bertentangan dengan Syariat
Dalam kaidah usul fikih disebutkan bahwa adat istiadat atau budaya dapat menjadi sumber hukum (al-‘adat muhakkamah). Kaidah ini memposisikan budaya dan adat istiadat sebagai sumber hukum yang diakui agama. Karenanya, aturan dan tradisi yang sesuai dengan syariat bisa menjadi sebuah hukum atas kasus tertentu.
“Namun perlu ditekankan di sini bahwa adat istiadat yang bisa dijadikan sumber hukum itu syarat utamanya ialah tidak bertentangan dengan Al-Quran dan as-Sunah,” tutur Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PCIM Arab Saudi Nur Fajri Romadhon.
Contoh penggunaan adat istiadat sebagai sumber hukum ialah penentuan mahar untuk istri. Dalam Islam, seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan wajib memberi mahar atau mas kawin.
"Mahar tersebut jika tidak ditentukan pada saat akad nikah dikembalikan kepada adat budaya setempat untuk menentukan ukurannya," tutur alumni King Abdulaziz University, Arab Saudi ini dalam Kajian Tarjih yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Depok.
Pemberian Nafkah pada Keluarga
Contoh lain dapat dikemukakan yaitu masalah pemberian nafkah kepada keluarga. Menurut Islam, kepala rumah tangga wajib memberi nafkah keluarga yang dipimpinnya, namun Islam tidak menentukan besarannya. Hal itu diserahkan kepada kemampuannya dan adat budaya yang berlaku di daerah tempat tinggalnya.
Contoh budaya yang bertentangan dengan syariat ialah syair-syair yang dilantunkan orang-orang Jahiliyah dahulu yang mengandung unsur-unsur kemusyrikan. Ketika Islam datang, melantukan syair tetap dibenarkan, namun tentu saja tidak boleh mengandung hal-hal yang bertentangan dengan agama, seperti kemusyrikan, bid’ah, dan hal-hal yang membantu kedzaliman.
“Budaya yang bertentangan dengan Islam dapat diperbaiki kualitasnya sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Misalnya, syair yang dulu mengandung unsur syirik diubah menjadi syair yang mengandung nilai-nilai tauhidi, dan usaha Wali Songo dalam memodifikasi kesenian wayang,” ujar Nur Fajri.
Sementara itu, adat budaya hasil cipta karsa manusia yang secara terang-terangan mengandung unsur-unsur kemusyrikan, bid’ah, khurafat, takhayul, kedzaliman, dan hal-hal negatif lainnya, maka harus ditundukkan kepada ajaran Islam. Bukan sebaliknya. Hal tersebut lantaran budaya merupakan hasil ciptaan manusia sedangkan nash-nash syariat tidak mungkin mengandung unsur kebatilan.
Contohnya adat budaya yang menyalahi syariat adalah budaya larung laut. Dalam budaya ini orang-orang mempersembahkan sesajian berupa kepala kerbau dan hasil pertanian lalu menghanyutkannya ke laut. Budaya ini berasal dari adat istiada Hindu, yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Jawa untuk mengharap berkah dari penunggu lautan dan menghindarkan mereka dari maya bahaya.
Dengan demikian, karakteristik kebudayaan dalam Islam ialah sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Sunah, dapat meningkatkan keimanan dan tidak mengandung unsur kemusyrikan, menghasilkan kebajikan dan menambahkan ingat kepada Allah, dan membuat pencerahan peradaban dan tidak menyebabkan perpecahan.
Sumber: muhammadiyah.or.id
Advertisement