Cara Detektif Urai Pembunuhan Desy
Oleh: Djono W. Oesman
Pembunuhan Desy Lailatul Khoiriyah, 20, misterius. Dia masih hidup, Rabu 5 Juli 2023 malam bersama ayah, Suprapto, 51. Paginya raib bersama Suprapto. Akhirnya, Sabtu 8 Juli, ditemukan tewas dalam karung dengan tangan terikat. Orang terakhir bersama Desy, Suprapto. Tapi sebelumnya Desy ketemu pacar.
----------
Detektif polisi dibutuhkan mengungkap perkara ini. Apalagi, pembunuhannya sadis. Tingkat sadis terungkap dari hasil pemeriksaan forensik mayat Desy di RS Bhayangkara Kediri. Begini:
Mayat ditemukan dalam karung. Posisi mayat meringkuk, kedua tangan terikat ke belakang. Kedua kaki terikat. Berpakaian lengkap. Posisi karung tergeletak di air, saluran irigasi sawah di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jatim, Sabtu 8 Juli pagi.
Ada beberapa luka memar akibat pukulan benda tumpul di kepala. Dokter forensik menyatakan, penyebab kematian, edema paru. Atau air menumpuk di paru sehingga tidak bisa bernapas. Mirip orang tenggelam.
Disimpulkan, Desy masih hidup, mungkin pingsan, saat dibuang di perairan sawah. Waktu kematian diperkirakan, Rabu 5 Juli malam.
Kasat Reskrim Polres Kediri, AKP Rizkika Atmadha kepada wartawan menyampaikan hal itu. Sampai Selasa, 11 Juli, tujuh orang diperiksa sebagai saksi. Dari pihak keluarga, tanpa Suprapto karena raib, tetangga, juga pacar Desy yang belum disebut identitasnya.
Kronologi penemuan mayat. Kamis 6 Juli siang, petani di desa itu bernama Imam Hanafi sedang di sawah. Mendapati aliran irigasi terlalu kecil. Maka, ia memeriksa aliran air.
Ternyata ditemukan bungkusan karung putih. Terikat rapi. Terendam di saluran, menghambat air. “Saya kira isinya sampah. Kadang orang buang sampah sembarangan,” kata Imam.
Lalu, karung ia angkat. Dipindah ke pematang sawah, supaya tidak menghalangi aliran. “Nanti saja dibuang, soalnya berat,” katanya.
Sejak itu, petani yang lewat situ melihat karung itu. Posisinya mencolok di pematang. Tapi dibiarkan. Kamis dibiarkan. Jumat dibiarkan.
Sabtu, 8 Juli, Syafi’i pencari rumput untuk pakan kambing, penasaran dengan karung itu. Didekati. Bau busuk menyengat. Ia tambah kepo. Ikatan ujung karung dibuka. Kaget setengah mati. Menyembul ujung kaki manusia.
Heboh. Tim polisi tiba melakukan olah TKP. Mayat dikirim ke RS Bhayangkara, Kediri. Langsung diotopsi, karena diduga kuat itu pembunuhan.
Identitas para pihak. Suprapto menikah dengan Sulastri, usia 43 tahun, menghasilkan anak tunggal, Desy. Tapi, sejak Desy dalam kandungan, Suprapto sudah tidak menghiraukan istri. Ia pulang ke rumah ortunya di Blitar.
Sulastri masih mengandung Desy, tinggal di rumah ayah, Maryono, 74 tahun, di Desa Banggle, Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Rumah itu bersebelahan, dempet dengan rumah anak Maryono yang juga adik Sulastri, Bahrodin.
Maryono kepada wartawan mengatakan: “Waktu Desy lahir, uang rumah sakit kurang sejuta rupiah. Totok (panggilan Suprapto) saya datangi di Blitar, minta uang untuk nebus isterinya habis melahirkan. Ternyata katanya gak punya.”
Maryono akhirnya menebus biaya rumah sakit bersalin itu. Dan, sejak itu pula biaya hidup Sulastri dan Desy sehari-hari ditanggung Maryono yang petani.
Suprapto baru muncul, mendatangi rumah anak istri ketika Desy kelas enam SD. Maryono menggambarkan, waktu itu Desy ogah didekati Suprapto, meski sudah diberitahu bahwa itulah ayah, yang selama ini tinggal di Blitar.
Beberapa tahun kemudian, Suprapto mengontrak rumah di Kediri, tak jauh dari rumah Maryono yang juga tempat tinggal Sulastri dan Desy. Suprapto bekerja sebagai petugas pengantar telur ayam, di perusahaan peternakan ayam di situ.
Maryono: “Totok dan anak saya tidak cerai, tapi juga tidak kumpul. Kadang ia mendatangi rumah ini menjenguk anak-istri sebentar, lalu pergi lagi.”
Desy akhirnya lulus SMK. Lalu bekerja di toko fotokopi di Kediri. Pemilik tokonya meminjami Desy motor Honda Beat, karena jarak rumah-tempat kerja cukup jauh.
Sejak itu, kata Maryono, Suprapto malah sering minta uang ke Desy. Padahal, Desy sejak bekerja jadi tulang punggung ekonomi keluarga. Selain minta uang ke Desy, Suprapto juga memarahi Desy yang pacaran dengan pemuda desa setempat (identitas masih dirahasiakan).
Maryono: “Saya sempat engkel-engkelan (debat) dengan Totok. Saya bilang, kalo kamu nggak ikut ragati (membiayai hidup keluarga) enggak usah banyak cingcong. Ia diam saja.”
Kronologi peristiwa. Selasa, 4 Juli sore, Desy di rumah didatangi pacar. Mereka tidak ngobrol di dalam rumah, karena kebetulan Suprapto ada di rumah tersebut. Sulastri juga ada. Dan, juga ada Maryono.
Desy-pacar ngobrol di sekitaran rumah. Beberapa lama kemudian Suprapto tahu, dan mengusir pacar Desy yang langsung pulang.
Rabu siang, Desy pulang untuk makan siang. Itu biasa dia lakukan. Setelah makan siang, dia biasanya balik lagi ke tempat kerja. Pulangnya sekitar pukul 19.00 WIB.
Rabu siang itu Desy ketemu Sulastri. Ngobrol seperti biasa. Itulah pertemuan terakhir ibu-anak ini.
Sorenya, setelah Desy kembali ke tempat kerja, Suprapto muncul ke rumah itu. Mengajak Sulastri ke rumah ortu Suprapto di Blitar, karena ada kerabat Suprapto di Blitar yang meninggal.
Suprapto-Sulastri berangkat ke Blitar jelang sore. Jarak Kediri-Blitar sekitar 45 kilometer, waktu tempuh dengan naik kendaraan umum sekitar 1,5 jam.
Rabu malam Suprapto sudah balik berada di rumah Maryono lagi. Tanpa Sulastri, yang masih berada di Blitar. Suprapto ketemu Maryono yang selalu di rumah.
Malam itulah detik-detik kritis. Di sekitar waktu pembunuhan Desy. Belum diungkap polisi secara detil. Tapi, ada kejadian begini:
Bahrodin kepada wartawan mengatakan: “Malam itu (Rabu) saya ada acara pengajian kampung, bakda Isya. Sebelum berangkat ke pengajian, saya dengar di rumah sebelah (rumah ayahnya) ada jeritan, seperti jeritan Desy. Jeritan cuma sekali.”
Bahrodin tidak curiga, karena ia tidak tahu bahwa Sulastri tidak berada di rumah itu. “Saya kira dia (Desy) bersama ibunya,” katanya. Toh, juga ada Maryono di rumah sebelah Bahrodin itu.
Lantas, Bahrodin berangkat ke pengajian. Maryono juga berangkat ke pengajian, tapi tidak bersamaan dengan Bahrodin. Entah lebih dulu atau belakangan. Ini masih diselidiki polisi.
Maryono: “Waktu saya pulang pengajian, Desy dan Totok sudah tidak ada. Saya lihat kamar Desy berantakan. Motor Desy dari kantor juga tidak ada.”
Malam berlalu. Maryono di rumah itu sendirian. Ia tidak khawatir, karena ia menduga, Desy pasti bersama Suprapto, entah menginap di mana.
Kamis dini hari. Suprapto sudah menjemput Sulastri di Blitar, diajak pulang ke Kediri. Naik motor Honda Beat milik Desy.
Mereka tiba di rumah Kediri hari masih pagi, sekitar pukul 07.00 WIB. Tiba di rumah, Sulastri bertanya ke Maryono, di mana Desy? Maryono juga bingung. ‘Kan semalam, sebelum Maryono berangkat pengajian, Desy bersama Suprapto?
Suprapto juga ada di pembicaraan bertiga itu. Tampak tenang. Suprapto segera menjawab:
“Tenang saja. Desy dapat kerjaan lebih enak di Lamongan. Dia sudah di sana.”
Maryono dan Sulastri bengong. Informasi ini hal baru buat mereka. Mereka mengaku, sebelumnya belum pernah mendengar rencana Desy pindah kerja, apalagi di Lamongan. Berjarak sekitar 140 kilometer dari Kediri.
Tapi, karena yang berkata itu adalah ayah kandung Desy, maka Maryono dan Sulastri tidak banyak protes. Apalagi, disebutkan Suprapto, bahwa kerjaan Desy yang lebih enak. Bersyukur.
Belum hilang kekagetan Sulastri dan Maryono, tahu-tahu Suprapto mengemasi pakaian Desy di kamar. Pakaian itu dimampatkan, masuk ke tas besar milik Desy. Ia bergerak cepat.
Sulastri ke Suprapto: “Lho,... lho… mau dibawa ke mana?”
Suprapto: “Ya, Desy ‘kan butuh pakaian. Akan saya bawakan ini ke Lamongan.”
Heran, Sulastri dan Maryono. Bingung abis. Tapi tidak protes. Mereka masih kerepotan mengkalkulasi waktu, mereka-reka kronologi kejadian.
Antara lain, kapan Desy berangkat ke Lamongan? Mengapa Desy tidak langsung membawa pakaian? Mengapa Desy tidak pernah cerita soal pekerjaan di Lamongan? Pekerjaan apa? Mengapa Desy resign dari pekerjaan sekarang? Mengapa… ah, banyak mengapa.
Di saat Maryono dan Sulastri di ambang antara bingung dan percaya, Suprapto segera berpamitan. “Maaf, saya buru-buru, karena Desy butuh pakaian ini.”
Suprapto berangkat dengan Honda Beat. Bablas… Tidak pernah balik, sampai mayat Desy ditemukan. Bahkan, Suprapto ditunggu polisi sampai Selasa 11 Juli.
Dari uraian tersebut, seumpama Anda detektif, pasti menduga, pembunuh Desy adalah Suprapto. Perkiraan waktu pembunuhan Desy antara Rabu ba'da Isya sampai Kamis Subuh.
Detilnya, Suprapto sudah ada di Blitar menjemput Sulastri, Kamis sekitar pukul 06.00 WIB. Jadwal salat Subuh di Blitar 04.23 WIB. Sedangkan posisi mayat ada di Kediri. Jarak Blitar-Kediri sekitar 45 kilometer.
Seandainya Suprapto pembunuh Desy, mobilitas Suprapto sangat tinggi. Dari Kediri mengantar Sulastri ke Blitar, lalu balik ke Kediri sendirian. Membunuh. Memasukkan mayat Desy dalam karung. Membuang karung ke sawah di Kediri. Lanjut, berangkat lagi ke Blitar menjemput Sulastri, lantas langsung menuju ke Kediri lagi. Barulah pergi, menghilang. Super sibuk.
Tapi, benarkah begitu? Polisi belum memastikan tersangka. Sekarang polisi biasa menggunakan Scientific Crime Investigation. Bukan dugaan-dugaan.
*) Penulis adalah wartawan senior