Cara Cerdik SBY ''Keluar'' Koalisi
Saya masih percaya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai politisi hebat. Ia bisa sejajar dengan Soeharto, Akbar Tanjung, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri.
Salah satu ciri politisi hebat itu tak pernah mati. Mereka selalu punya cara keluar dari krisis. Mereka selalu punya manuver yang tak terduga ketika kepepet. Tentu dengan cara yang cantik.
Politisi hebat tidak pernah gampang terbaca langkah-langkahnya. Bisa triki. Bisa jeli. Bukan sekadar ngadali. Tapi berpegang pada visi maupun platform partai. Dengan kecerdikan membaca situasi.
Pak SBY --demikian ia biasa dipanggil-- memang sudah lama tak nyaman masuk dalam koalisi Prabowo. Tapi juga telat untuk mendapat tempat di koalisi Jokowi. Dua nama yang sedang berkontestasi menjadi orang pertama di RI.
Ada alasan personal dan politik. Konon, Pak SBY sudah "bersaing" dengan Prabowo sejak awal sama-sama menjalani pendidikan militer di Magelang. Keduanya masuk bersama, tapi SBY lulus duluan.
Keduanya dikenal sebagai dua siswa akademi militer Magelang yang moncer. Keduanya juga menjadi menantu para jenderal. Prabowo jadi menantu Soeharto. SBY menantu Sarwo Edi Wibowo.
Dalam hal karir militer, Prabowo melejit duluan. Sebagian orang menganggap karir cepat itu karena statusnya sebagai menantu orang paling berkuasa di Zaman Orde Baru. Karirnya merosot setelah Soeharto lengser karena gerakan reformasi.
SBY memiliki karir yang lebih moncer paska karirnya di militer. Paska reformasi, ia menjadi menteri sampai Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah itu, lewat Partai Demokrat besutannya ia berhasil menjadi presiden dua periode.
Sementara, paska dipecat dari militer, Prabowo gagal terus dalam politik. Setelah balik dari Yordania, ia mendirikan Partai Gerindra. Ia mengadu nasib menjadi wakil presiden berpasangan dengan Megawati. Gagal.
Berikutnya bertarung lagi menjadi calon presiden berpasangan dengan Hatta Rajasa. Gagal lagi. Kini ia mengadu nasib lagi bersama Sandiaga Uno. Ibarat tinju, ia rematch dengan Jokowi. Hasilnya? Tunggu tanggal 17.
Partai Demokrat menjadi salah satu pengusung pasangan Prabowo-Sandi. Tapi, sejak dideklarasikan, partai berlambang bintang Mercy ini tampak setengah hati. Kubu Prabowo juga tampak demikian.
Terakhir, menjadi tampak terbuka setelah Hasyim Djojohadikusumo mengumumkan skema pembagian jatah menteri. Ia dengan tegas menyebut jatah PKS dan PAN, tapi tak jelas jatah Partai Demokrat.
Tapi skema bagi-bagi kekuasaan ala adik Prabowo ini ibarat pisau bermata dua bagi Demokrat. Mempersoalkan, kok terkesan berebut kursi sebelum laga. Dibiarkan, lalu mengapa Partai Demokrat ikut koalisi jika tak dapat jatah kursi.
Partai didirikan untuk merebut kekuasaan. Ia dibikin untuk bisa membuat kebijakan. Ia berkontestasi untuk berbagi sumberdaya yang bisa dikelola. Ia bertarung untuk bisa mengelola negara.
Bagi Partai Demokrat, koalisi dengan Prabowo menjadi tak begitu menarik setelah Hasyim mengungkap skema bagi-bagi kekuasaan. Tapi apakah mundur hanya karena itu? Tentu akan terbangun image yang tak menguntungkan.
SBY melihat celah dalam Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di GBK. Sebuah kampanye yang dianggap aneh sedunia oleh para pesertanya.
Karena pesertanya banyak yang menginap di hotel di sekitar. Karena kampanye dimulai dengan Salat Subuh dan munajat bersama.
Yang tak pernah saya duga adalah cara SBY menanggapi itu. Ia mengirim surat ke para pimpinan Partai Demokrat. Dia memberi penilaian jika kampanya akbar Prabowo-Sandi ini tidak lazim. Tidak inklusive. Terlalu menonjolkan politik identitas.
Surat SBY ke pimpinan Partai Demokrat ini langsung saja tersebar. Viral di media. Tapi intinya satu: ia tak ingin Partai Demokrat menjadi representasi politik identitas. Ia ingin Indonesia semua.
Sebetulnya surat SBY ini tidak aneh jika melihat platform dan perilaku partai yang didirikan. Partai Demokrat sejak lahir ingin menjadi partai tengah. Tidak terlalu kanan dan tidak terlalu kiri. Ceruk suara tengah ini yang diyakini besar di Indonesia.
Karena itu, surat SBY yang beredar bersamaan dengan Kampanye Akbar Prabowo-Sandi bisa juga bermakna ganda. Bisa sebagai membuka pintu "keluar" dari koalisi. Bisa juga menjadi bagian menaikkan nilai tawar partai.
Yang pasti, saya tetap melihat SBY sebagai politisi cerdik. Yang selalu melihat celah momentum untuk mengambil keuntungan politik. Di saat ia harus menemani Bu Ani berjuang melawan sakit kanker yang dideritanya di Singapura.
Ayo kita lihat manuver-manuver politik sampai 17 April dengan riang gembira. (Arif Afandi)
Advertisement