Capai 30 KM, Anggota Komisi IV DPR RI Tinjau Pagar Laut Misterius
Anggota Komisi IV DPR R, Johan Rosihota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, melakukan inspeksi mendadak (sidak) terkait kasus pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang yang menuai kontroversi. Pagar berupa batang bambu atau trucuk.
Kasus ini telah memicu keresahan di kalangan nelayan setempat karena menghalangi akses mereka ke area penangkapan ikan, meningkatkan biaya operasional, pagar ini mengancam keberlanjutan mata pencaharian mereka.
Dalam kesempatan tersebut selain bersama Nelayan, Johan Rosihan datang dengan beberapa anggota Komisi IV DPR RI.
“Pemagaran laut ini adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap hak nelayan dan masyarakat pesisir. Pemerintah harus segera memastikan legalitas tindakan ini dan mengambil langkah tegas jika terbukti melanggar aturan,” ujar Johan Rosihan saat berdialog dengan nelayan yang terdampak, Kamis 9 Januari 2025.
Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, pemanfaatan wilayah pesisir harus dilakukan dengan izin resmi dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat setempat.
Selain itu, setiap kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem laut diwajibkan memiliki analisis dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Johan menegaskan, jika pagar ini didirikan tanpa izin atau tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosial, maka tindakan ini berpotensi melanggar hukum dan pelakunya dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.
“Nelayan adalah tulang punggung ekonomi pesisir. Hak mereka atas akses laut harus dilindungi. Kasus ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa pengelolaan laut harus mengutamakan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat,” tambah Johan.
Tidak Punya Izin
Pembangunan pagar laut misterius di Kabupaten Tangerang sepanjang 30 kilometer (Km) diketahui tidak mengantongi izin alias ilegal.
Keberadaan pagar laut misterius itu awalnya diketahui dari laporan warga yang diterima Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten pada Agustus 2024.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Eli Susiyanti mengatakan pihaknya menerima laporan warga pada 14 Agustus 2024. Lalu, pemda menerjunkan tim ke lokasi pada 19 Agustus. Tim menemukan dugaan pembangunan pagar laut sepanjang 7 kilometer.
DKP Banten lantas menggandeng Polisi Khusus Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) kembali mendatangi lokasi pada 4-5 September 2024.
Saat itu, informasi yang ia terima tidak ada rekomendasi atau izin dari camat maupun dari desa, dan kemudian belum ada keluhan dari masyarakat terkait pemagaran tersebut.
Eli mengatakan, timnya sudah melakukan investigasi sebanyak empat kali. Bahkan, mereka bekerja sama dengan Pangkalan TNI AL Banten, Polairud Polresta Tangerang, hingga Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Provinsi Banten.
Tim gabungan telah meminta pembangunan pagar laut itu dihentikan. Namun, pagar itu terus dibangun hingga saat ini memiliki panjang 30,16 kilometer.
Caplok Pesisir 16 Desa Nelayan
Pembangunan pagar laut misterius Tangerang itu mencaplok wilayah pesisir 16 desa di 6 kecamatan. Ada masyarakat pesisir yang beraktivitas sebagai nelayan sebanyak 3.888 orang dan ada 502 orang pembudidaya di lokasi itu.
"Pertanyaannya apakah kemudian laut boleh dimanfaatkan? Tentu saja boleh, bukan berarti setelah ini ditentukan zonasinya, tidak bisa beraktivitas di sana. Boleh tetapi dengan catatan adalah tadi melalui mekanisme sesuai dengan aturan perundang-undangan," ujarnya.
Meski keberadaannya menabrak aturan, pagar laut itu tak diketahui milik siapa. Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Suharyanto menyebut Ombudsman sedang melakukan kajian terhadap hal itu.
Saat ditanya kemungkinan pemagaran untuk reklamasi, ia tak bisa memastikan. Suharyanto mengatakan reklamasi pun perlu pengurusan izin terlebih dulu.
"Nah, kita tidak tahu. Itu (reklamasi) baru kita ketahui ketika ruang laut itu diajukan permohonan dan dalam permohonannya ada proposalnya. Ini kan tidak ada," ujar Suharyanto.
Advertisement