[Canda] “Raja Jawa”
Oleh:
Himawan Bayu Patriadi, PhD., Dosen Perbandingan Politik, Universitas Jember
=====
Beberapa waktu lalu, canda tentang “Raja Jawa” kembali mengemuka. Di ajang Musyawarah Nasional (Munas) ke-11 Partai Golkar, Ketua Umum terpilih Bahlil Lahadalia dalam pidato kemenangannya berkata: “Kita harus lebih paten lagi. Soalnya, Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini”. Kala dikejar, Bahlil menghindar. Itu cuma “candaan politik!”, kelitnya.
Bahlil mungkin tak menduga, candaan politiknya akan menjadi berita. Ungkapannya bukan hanya jadi berita utama di Indonesia, tapi juga menjadi sorotan media mancanegara. The Economist, misalnya, salah satu reportase-nya bertajuk: “The King of Java inflames an Indonesian "democratic emergency". (Raja Jawa menyulut kondisi ‘darurat demokrasi’ di Indonesia). Dikabarkan pula di dalamnya bahwa: “Besoknya, puluhan ribu pengunjuk rasa turun ke DPR/MPR dan memenuhi media sosial dengan gambar-gambar yang menyatakan ‘darurat demokrasi’”.
Sebagai tokoh asal Papua, Bahlil mungkin tak seutuhnya memahami tradisi Jawa. Dalam budaya Jawa ada yang namanya guyon parikeno. Bentuknya berupa candaan, substansinya bisa sebuah sindiran. Tapi, biasanya, substansinya diyakini mendekati kebenaran. Sesuatu yang serius yang diungkapkan dengan guyonan (candaan), memang diharapkan untuk tidak menyakiti yang menjadi sasaran. Tak mengherankan, jika publik kemudian menangkap candaan Bahlil sebagai informasi beneran. Bahkan, mereka yang penasaran justru berharap jawaban pasti, siapa sebenarnya sosok ‘Raja Jawa‘ ini?
Tak pelak, candaan politik itu memantik rasa ingin tahu. Saat ditanya wartawan, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan: “Itu … kan pernyataan politik di [acara] partai politik. [Jadi] silahkan ditafsirkan masing-masing". Wartawan juga mengejar tanggapan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja Yogyakarta, yang notabene juga merupakan salah satu Raja Jawa. Sebenarnya pertanyaan kepada Sri Sultan ini agak salah alamat. Pasalnya, Kesultanan Yogya dalam jejaknya justru dekat dengan rakyat. Bahkan, ayahandanya, Sultan Hamengku Buwono IX, sempat mendeklarasikan “Tahta untuk Rakyat”. Walaupun demikian, Sri Sultan menjawabnya dengan bijak: “Masa seperti itu saya [harus] menanggapi, [wong] saya juga enggak tahu yang dimaksud siapa kok”. Dua jawaban normatif ini tak cukup mengobati rasa penasaran publik. Akhirnya, misteri berkembang menjadi kontroversi, sekaligus melahirkan spekulasi.
Sebenarnya, canda tentang “Raja Jawa” bukanlah sesuatu yang baru. Di masa orde Baru, kala kuliah Sarjana (S1) di FISIPOL – Universitas Gajah Mada, saya sudah terbiasa mendengar guyonan senada, terutama di kalangan aktivis dan jurnalis Yogya. Sindiran yang sering muncul biasanya tertuju pada perilaku politik seseorang, atau keadaan politik yang dirasa tidak nyaman. Misal, ungkapan “Indonesia ini khan sebenarnya ‘kerajaan’ yang berbentuk republik”. Sindiran ini merujuk pada manajemen politik kala itu, yang telah membuat terkonsentrasinya kekuasaan politik orde Baru di satu tangan.
Namun, terdapat perbedaan antara kedua canda. Di era orde Baru canda bermula pencermatan terhadap symptom kekuasaan politik, sedangkan di masa reformasi canda berasal dari statement tokoh politik. Jika canda ‘Raja Jawa’ kini menjadi kontroversi baik di media massa dan social media, dulu, di Yogya, candaan justru mendorong kajian akademik antar mahasiswa dengan diskusi di Gelanggang Mahasiswa - Universitas Gajah Mada.
Ketika masa orde Baru, kritisisme terhadap sosok ‘Raja Jawa’, setidaknya di Yogyakarta, terutama dipicu oleh faktor akademik. Kebetulan, di jurusan Hubungan Internasional, di mana saya belajar, ada mata kuliah Ide-ide Politik Indonesia. Dosennya, Pak Sjaifullah Mahjudin (Drs., MA.), jebolan National University of Singapore. Wawasan ilmunya luas, penyampaiannya juga jelas. Selain selalu memberi ruang bagi mahasiswa untuk bertanya, beliau juga senantiasa menyodorkan sumber bacaan yang bermutu. Salah satunya, literatur klasik karya Benedict R.’OG Anderson, Indonesianist asal Cornell University, bertajuk “The Idea of Power in Javanese Culture” (1973). Tak pelak, perbincangan materi kuliahnya seringkali ‘tak tuntas’, karena berlanjut dengan diskusi antar mahasiswa di luar kelas.
Dalam menulis artikelnya yang klasik itu, Anderson berangkat dari keprihatinan akademik. Alasannya, tidak seperti China dan India, literatur klasik Indonesia jarang mengekplorasi teori Politik ‘asli’ (indigenous political theory), yang kini lazim disebut sebagai non-Western political theory. Akibatnya, sempat muncul persepsi bahwa tak ada indigenous political theory Indonesia, khususnya teori Kekuasaan ala Jawa. Padahal, terdapat beberapa elemen unik dalam budaya tradisional Jawa, termasuk yang menyangkut kekuasaan (power), yang mungkin masih relevan untuk menjelaskan gejala politik kontemporer. Tapi, Anderson mengakui bahwa berbagai elemen ini tak sepenuhnya Jawa ‘asli’. Sebagai amalgama, di dalamnya terdapat pula pengaruh budaya India atau nilai sosial Asia lainnya.
Dalam sekian aspek, ide politik Jawa tradisional karakternya berbeda dengan konsep power ala Barat. Perspektif politik Barat, yang sering jadi rujukan politik modern, mempersepsikan kekuasaan sebagai sesuatu yang abstrak, sebagai produk dari hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Selain itu, pemikiran politik Barat memandang kekuasaan bisa tumbuh dari berbagai sumber, seperti kekayaan, jabatan formal, status sosial, ataupun posisi di organisasi. Meski berbagai sumber ini berkaitan satu sama lain, dalam analisa politik posisinya sebagai variabel bisa dipilah.
Sebaliknya, budaya Jawa tradisional memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang konkrit. Power dianggap eksis dan bersifat independen dari penggunanya. Manisfestasinya, bisa dilihat saat melekat pada subyek apapun, termasuk pada sosok individu. Selain itu, pemikiran politik tradisional Jawa memandang power sebagai sesuatu homogen. Alasannya, power dipersepsikan berasal dari sumber yang sama. Power yang ada dalam genggaman seseorang, esensinya sama dengan power yang berada dalam kelompok. Tak ayal, dalam analisa politik, pemilahan variabel menjadi tak relevan. Asumsi ini membawa implikasi. Mengingat semua kekuasaan berasal dari satu sumber dan bersifat homogen, maka gagasan peraihan kekuasaan mendahului pertanyaan tentang ‘baik’ (good) atau ‘jahat’ (evil)-nya. Inilah, sekali lagi, postulat yang secara diametral berbeda dengan konsep politik Barat. Dalam tradisi Jawa tradisional, legitimasi bukanlah isu sentral bagi kekuasaan. Dalam bahasa Anderson, “power is neither legitimate nor illegitimate”. Singkatnya, power is power [titik!], “without inherent moral implications”.
Karakter lain dari konsep power ala Jawa adalah premis bahwa kuantumnya di alam semesta tetap alias konstan. Konsep politik Barat memandang the total amount of power dalam semesta bisa berubah, dan cenderung membesar. Pasalnya, sumber power semakin variatif. Sebaliknya, gagasan politik Jawa tradisional memandang the total amount of power is fixed. Logikanya, akumulasi power di satu sisi akan mengurangi volume power di sisi lain. Premis teoritis ini berimplikasi pada tataran politik praktis. Permasalahan utama dalam politik adalah bagaimana mengakumulasi power daripada mendemonstrasikan pemanfaatannya. Tak pelak, konsentrasi power menjadi prioritas politik utama dibandingkan penggunaannya secara tepat (proper uses).
Merenungkan sifat kekuasaaan Jawa tersebut, saya-pun sempat bercanda di antara teman mahasiswa. Bersandar pada postulat bahwa konsentrasi power adalah prioritas utama, saya menganjurkan kepada siapa yang mengambil mata kuliah Ide-ide Politik Indonesia kala itu untuk juga membaca karya silatbS.H. Mintaredja. Salah satunya, serial yang ternama bertajuk “Nogo Sosro Sabuk Inten”. Argumennya, dalam alur ceritanya senantiasa menyiratkan begitu dominannya pengaruh “politik istana”. Telisik investigatif mengkonfirmasi bahwa karya S.H. Mintaredja merupakan kreasi yang berangkat dari imajinasi dalam relung Babad Tanah Jawi. Tak ayal, semua dinamika pertarungan politik, langsung tidak langsung, hampir selalu berkaitan dengan dinamika kekuatan dalam istana Raja.
Karakteristik prioritas politik yang terpaku pada konsentrasi power, pada gilirannya juga berimbas pada klasifikasi penguasa. Salah satu ciri orang punya kuasa adalah siapa yang secara konsisten mampu memusatkan semua potensi kekuatan dalam dirinya. Karakteristik ini berakar pada konsep tradisional Jawa. Kata Soedjatmoko, “Konsep sentral dalam pandangan hidup tradisional Jawa adalah hubungan langsung antara kondisi batin seseorang dan kemampuannya mengendalikan lingkungan”. Logikanya, konsentrasi power jelas memudahkan seseorang dalam mengendalikan lingkungan, apapun aspeknya.
Namun, cara-cara pemusatan kekuasaan cenderung mengabaikan kelaziman. Dalam konsep Jawa tradisional, obsesi konsentrasi power bisa melalui absorbsi kekuatan eksternal. Yang menarik, dalam absorbsi kekuasaan eksternal ini juga bisa dilakukan terhadap kekuasaan yang cirinya, bahkan substansinya, bertentangan dengan kekuasaannya sendiri. Kemampuan menyerap kekuatan dari luar ini, termasuk terhadap kekuatan yang bertentangan, merupakan tema yang sering muncul dalam mitologi perwayangan. Dalam tataran empiris, Anderson menafsirkan konsep ‘Nasionalime, Agama, dan Komunisme’, yang terkenal dengan akronim NASAKOM, merupakan salah satu refleksi dari absorbsi kekuatan yang berlawanan. Dalam konteks kekinian, gejalanya mungkin tercermin pada gagasan dan praktek penyerapan kekuatan oposisi dalam kekuasaan pemerintahan. Tak ayal, fenomena politik ini sempat membuat pengamat Barat terperangah, karena tak ada dalam leksikon politiknya.
Bersandar pada eloborasi Benedict Anderson di atas, ide politik mengenai kekuasaan (power) yang distinctive sebenarnya eksis dalam budaya tradisional Jawa. Sebagai gagasan, ia bisa digunakan oleh siapa saja, termasuk oleh sosok “Raja Jawa” yang sempat hangat diperbincangkan. Pertanyaannya: “Sejauh mana relevansinya?”. Dalam konteks politik kekinian, relevansi konsep tradisional ini sangat mungkin dipertanyakan, seiring dengan derasnya arus modernisasi. Tapi, perlu diingat, suatu ide atau gagasan, pada prinsipnya tak akan pernah benar-benar mati. Seperti ideologi, sebuah gagasan politik tetap berpotensi untuk hidup sejauh ada yang mengadopsi. Laiknya sebiji benih, ia akan tetap akan bersemi makmur apabila hinggap pada tanah yang subur. Wallahua’lam …