Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong di Pilkada, Pakar: Waspada Politik Transaksional
Terdapat lima wilayah di Jawa Timur yang hanya memiliki satu pasangan calon dalam Pilkada 2024. Wilayah tersebut antara lain di Surabaya, Gresik, Ngawi, Kota Pasuruan dan Trenggalek. Pakar hukum di Surabaya mengingatkan potensi politik transaksional dalam kondisi satu calon lawan kotak kosong.
"Apalagi yang mendapat dukungan absolut dari seluruh partai politik, seperti di Surabaya," kata Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Satria Unggul Wicaksana, kepada media, dikutip Minggu 29 September 2024.
Direktur Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (Pusad) UM Surabaya itu mengingatkan salah satu pemikiran dari John Emerich Edward Dalberg-Acton, yakni kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut. "Saya curiga dukungan absolut memicu perilaku koruptif,” katanya.
Hal lain, salah satu hasil penelitian milik Pusad UM Surabaya juga mendapati potensi koruptif muncul karena kebutuhan logistik tingga saat Pilkada. "Untuk bupati atau walikota, biaya politik yang dikeluarkan bisa menembus Rp 100 miliar, terutama untuk honor saksi, kampanye, dan mobilitas massa,” ujar pria yang juga Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) itu.
Politik transaksional bisa muncul jika melibatkan cukong atau penyandang dana, untuk memenuhi kebutuhan pilkada. Menurut dia, sebagian warga di Surabaya adalah crazy rich. Para naga bisnis atau konglomerat mampu membiayai calon politik, tetapi dengan konsekuensi diakomodasi kepentingannya.
Empat Wilayah Lain
Selain Surabaya, terdapat empat wilayah lain yang hanya memiliki calon tunggal. Mereka antara lain Kabupaten Trenggalek, Ngawi, Gresik, dan Kota Pasuruan.
Di Trenggalek terdapat pasangan Bupati dan Wakil Bupati Mochamad Nur Arifin dan Syah Muhammad Natanegara. Kemudian Ngawi adalah Ony Anwar Harsono dan Dwi Rianto Jatmiko.
Sedangkan Gresik terdapat pasangan Akhmad Yani dan Asluchul Alif serta pasangan Adi Wibowo dan Muhhamad Nawawi di Kota Pasuruan.
Kondisi itu menurut Satria, menjadi bentuk kemunduran demokrasi sebab masyarakat harus memilih calon yang tidak ideal. "Karena proses kompetisinya hilang, padahal seharusnya masyarakat bisa melihat adu pemikiran, gagasan, rancangan program. Kalau kotak kosang kan ya menjadi tidak ada,” tandasnya.
Advertisement