Cak Nun : Saya Cemas Meikarta, Reklamasi, Pribumi
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) cemas dengan adanya polemik pribumi, Meikarta dan reklamasi pantai Jakarta. Ternyata ini yang dipikirkan CaK Nun :
_
Oleh : Emha Ainun Nadjib
Saya kok cemas melihat Reklamasi, Meikarta, serta banyak program dan kontrak-kontrak yang sejenis itu. Apa kita yakin hari esok pasti bisa kita rancang, laksanakan dan kendalikan.
Tentu saja kecemasan saya ini tidak rasional. Karena yang saya cemaskan itu adalah bagian dari kecemerlangan prestasi Pemerintahan yang menurut lembaga-lembaga survei memuaskan 67% rakyat. Bahkan banyak yang meyakini Indonesia kali ini adalah yang terbaik dibanding sejumlah Indonesia sebelumnya.
Namun demikian, secara pribadi saya tetap siap payung sebelum hujan. Andaikan kita punya Imperium Raksasa menguasai lima benua – apa seluruh kemungkinan bisa diidentifikasi, disimulasi dan di-handle. Apa setiap pagi tiba, pasti tidak ada yang kita tidak duga. Apa kehidupan, ruang dan waktu ini bisa kita pastikan selalu dalam kontrol kekuasaan kita. Apa semua hal dalam perjalanan sejarah bisa benar-benar kita ketahui dan kuasai. Apakah Indonesia, manusia, kehidupan dan nasib, begitu remehnya di telapak tangan raksasa dan naga, meskipun kita yang menjadi kuku dan cakarnya.
Ini bukan soal pribumi. Arti pribumi tidak terletak pada kata-katanya, melainkan pada ketepatan peletakannya berdasar konteks dan nuansanya.
Pribumi itu bukan siapa kita, apa warna kulit kita, apa Agama kita. Pribumi itu bukan personalitas, bukan pula identitas. Pribumi itu komitmen kepada rakyat, karena kita sendiri adalah rakyat, bukan yang berkuasa atas rakyat.
Pribumi itu bukan apa jabatan atau profesi kita, di mana alamat kita. Kalau kita memijakkan sepatu di atas kepala rakyat, kalau kita mengambil untung sendiri tidak dalam kebersamaan dengan keuntungan semua rakyat, berarti kita bukan rakyat. Karena bukan rakyat, maka kita adalah penghisap, penindas, pelintah.
Kalau kita “menang ngasorake”, “sukses dengan menyusahkan” atau “beruntung dengan merugikan”, maka kita bukan rakyat. Pribumi itu kesetiaan kepada rakyat.
Pribumi itu bukan mulut kita mengucapkan Pancasila atau Bhinneka Tunggal Ika. Melainkan kita tidak melakukan apapun yang membuat hati rakyat kecil diam-diam tidak ikhlas, ngersulo dan memendam sekam sejarah.
Menjadi pribumi itu menyatu dengan rakyat kecil dan saling mencintai dalam kesatuan kita dengan mereka. 1- Mencintai. 2- Rakyat. 3- Kecil.
Cinta itu kondisi batin, mencintai itu tindakan, perjuangan, keteguhan dan kesetiaan. Rakyat itu ra’iyah. Ra’iyat. Kepemimpinan. Pemegang kedaulatan sejati. Kecil itu lemah, karena sudah melimpahkan kekuasaannya, sudah mewakilkan kedaulatannya, sehingga tak lagi berkaki dan bertangan. Kita mengabdi kepada yang kecil, kecuali kita bukan manusia.
Saya kok cemas melihat Reklamasi, Meikarta, serta banyak program dan kontrak-kontrak yang sejenis itu. Apa kita yakin pasti hari esok bisa kita rancang, laksanakan dan kendalikan. Saya khawatir nanti ada suara teriakan keras “shoihatan wahidatan” yang “min haitsu la yahtasib”. Untung saya tinggal di luar itu semua.
Yogya, 23 Oktober 2017 /mepnews.id
Advertisement