Cak Imin, Moeldoko, atau Erlangga?
...Jokowi harus didampingi oleh figur yang kuat. Dalam pengertian didukung militer dan kelompok Islam, utamanya dari kubu NU. Itulah sebabnya mengapa figur Muhaimin dan Moeldoko sering disebut-sebut yang berpeluang tampil mendampingi Jokowi.
Siapakah yang akan digandeng Jokowi mendampingi maju sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2019? Sampai saat ini hanya Jokowi dan Tuhanlah yang mengetahuinya. Selebihnya hanya sebatas membuat prediksi berdasarkan realita politik dan animo pasar politik yang terus berkembang. Tentunya pertimbangan dilakukan berdasarkan amatan dan kajian yang rasional.
Dalam judul tulisan, nama Puan Maharani (PM) memang tidak muncul. Alasannya sederhana; karena tidak mungkin pasangan capres dan cawapres berasal dari satu partai. Kecuali diusung oleh partai yang bisa maju sendiri tanpa memerlukan dukungan partai lain. Untuk memenuhi persyaratan 20 persen suara/kursi DPR, PDIP masih belum mencukupi. Sehingga PDIP pun harus rela melepas kursi wapres untuk partai ‘koalisi’nya dalam Pilpres 2019.
Bagaimana bila PDIP bersikeras mengajukan JKW berpasangan dengan PM atau Budi Gunawan (BG)? Membaca pikiran Jokowi, berpasangan dengan PM, apalagi BG, perolehan suara yang akan diraih belum menjanjikan kemenangan. Partai lain yang berkoalisi pun, dipastikan tidak akan menerima. Setidaknya, Golkar dan PKB akan menolak. Bagaimana bila Nasdem, PPP dan Hanura, mau menerima tawaran PDIP? Dalam hal ini, Jokowilah yang akan berpikir keras karena harga politik yang harus dibayar pasti sangat mahal.
Sebagai alternatif, PDIP bisa saja mengajukan nama tokoh lain dengan terlebih dahulu melobi partai pengusung lainnya. Dengan mengatas-namakan demi kepentingan keamanan dan stabilitas, PDIP yang dekat dengan ‘baju coklat’, bisa saja mengajukan nama Kapolri,Tito K. Karena PDIP mempunyai BG sebagai grantor, via Ketua Umum. Lagi-lagi, Jokowi akan berpikir keras untuk menerima, karena kecemburuan yang datang dari barisan ‘baju hijau’ akan menjadi pertimbangan strategis yang bakal diperhitungkan dengan sangat serius.
Bila tokoh-tokoh yang disodorkan oleh PDIP ditolak oleh Jokowi, rasanya Megawati dengan sikap kerasnya, tidak akan begitu saja menerima. Andai saja pileg dan pilpres tak digelar bersamaan, dipastikan Jokowi akan ‘ditendang’ keluar dari pintu rumah PDIP. Tapi mengingat pileg dan pilpres digelar bersamaan, Megawati tentu tidak akan gegabah mempertaruhkan perolehan suara dalam pileg yang bisa merosot tajam.
Lalu, langkah politik apa yang bisa diambil sebagai jalan tengah? Menempatkan PM dan BG (???) masing-masing sebagai Menko, bisa menjadi solusinya. Tentu dengan catatan, PM diperbolehkan rangkap jabatan sebagai ketua umum partai, sebagaimana Airlangga dan Golkarnya. Tidak bisa saya bayangkan bila Mega mengambil pilihan politik Zero Sum Game. Jokowi ‘ditendang’, dan PDIP mengajukan calon pilihannya sendiri dengan dukungan cukup satu partai kecil saja. Ongkos politik dan taruhannya, dipastikan sangat dan teramat besar! Atau, Mega menerima Airlangga sebagai cawapres dengan kompensasi, 2 kursi Menko plus sekian menteri dan sejumlah kursi pimpinan di DPR-MPR, diperuntukan PDIP.
Sebaliknya, tanpa PDIP, Jokowi masih berpeluang besar untuk mendapat tiket capres. Asal beliau berani tetap maju, partai Golkar, Demokrat dan bahkan mungkin Gerindra sekalipun, pasti siap untuk membuka pintu pada Jokowi. Dalam kaitan ini, partai Golkarlah yang paling potensial dijadikan kendaraan politik untuk Jokowi maju sebagai capres dalam Pilpres 2019. Hanya dibutuhkan dukungan satu partai lagi untuk mendapatkan tiket masuk ke gelanggang pilpres. Hal mana tidak akan sulit mengingat Partai Demokrat yang bisa saja memanfaatkan situasi dilematis ini bersedia untuk bergabung. Tawaran AHY sebagai salah satu Menko dalam Kabinet Kerja jilid dua sebagai rangsangan, rasanya merupakan solusi yang menjanjikan. Sementara Airlangga, Ketua Umum Golkar, tampil sebagai Cawapresnya Jokowi.
Namun, banyak pengamat yang berpendapat bahwa Jokowi harus didampingi oleh figur yang kuat. Dalam pengertian didukung militer dan kelompok Islam, utamanya dari kubu NU. Itulah sebabnya mengapa figur Muhaimin dan Moeldoko sering disebut-sebut yang berpeluang tampil mendampingi Jokowi. Masalahnya, Muhaimin dengan modal suara yang tidak mencapai dua digit, masih memerlukan dukungan dua partai menengah atau satu partai besar. Sebaliknya, Muldoko yang tak punya modal partai, akan tidak mudah untuk mendapatkan tiket maju sebagai cawapres!
Yang celaka bila Jokowi tak mau dipusingkan ditekan kanan-kiri, dan memilih untuk mengatakan..’’ora dadi presiden ora patheken..!’’ Toh legacy dirinya sudah terbangun di hati sebagian besar rakyat. Namanya pun langsung harum melambung dan menenggelamkan marwah partai-partai yang berebut pepesan kosong. Mereka pun akan tenggelam ke dalam kubangan caci-maki jutaan rakyat. Sebuah tragedi politik yang tak terbayangkan!