Cak Imik, Perajin Terbang Jidor di Banyuwangi
Banyuwangi memiliki tangan-tangan kreatif yang memproduksi berbagai macam kerajinan. Mulai kerajinan untuk cinderamata hingga kesenian atau alat musik. Salah satu pemilik tangan kreatif ini adalah Suhaimi, 50 tahun. Dia merupakan perajin alat-alat kesenian seperti hadrah dan kuntulan, seperti terbang alias rebana, jidor, dan pantus.
Pria yang akrab dipanggil Cak Imik ini menekuni kerajinan alat-alat kesenian ini di rumahnya yang berada di Dusun Kedungliwung, Desa Kemiri, Kecamatan Singojuruh. Dia mengaku mulai belajar membuat alat-alat musik tersebut sejak tahun 90-an. Pada tahun 2.000, Dia mulai memproduksi alat-alat musik kuntulan. “Saya memberanikan diri membuka usaha secara mandiri sekitar tahun 2005,” jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, terbang, jidor, pantus, angklung, ketipung, buatan Imik semakin mendapat sambutan positif pasar. Tidak sedikit grup kuntulan atau hadrah di seluruh Banyuwangi memesan alat-alat musik kepadanya.
Setiap alat musik buatan Imik, memiliki tanda khusus pada bagian belakangnya. Tanda khusus itu berupa stempel bertuliskan Cak Imik Terbang Kedungliwung. Nah, menurutnya, hampir semua grup hadrah dan kuntulan yang ada di Banyuwangi memiliki stempel tersebut. Artinya alat musik tersebut merupakan buah tangannya.
Dia menambahkan, satu set alat musik kuntulan yang terdiri dari sembilan unit terbang, jidor, pantus, keling, dan gong dia banderol seharga Rp8,5 juta. Sedangkan untuk harga eceran, satu unit terbang, dibandrol seharga Rp350 ribu sampai Rp425 ribu. “Harga ini tergantung kualitas bahan yang digunakan, seperti kayu dan kulit,” jelasnya.
Usaha yang ditekuni Imik ini berhasil menciptakan lapangan kerja. Setidaknya ada beberapa temannya yang bergabung dalam usaha yang jalankannya. Ini karena pesanan alat-alat musik buatannya terus berdatangan. Bahkan tidak sedikit pesanan yang datang dari luar Jawa. “Tidak hanya datang dari Banyuwangi, tetapi juga Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan,” bebernya.
Selain melayani pesanan alat musik terbang, Imik juga melayani pembuatan bedug. Baik bedug untuk Musala maupun bedug untuk kesenian hadrah atau kuntulan. Untuk bedug masjid dan musala ukurannya lebih besar dibandingkan bedug untuk kesenian hadrah atau kuntulan.
“Bedug untuk Masjid atau Musala berukuran panjang 1,25 m dan lebar 1 m. Sedangkan bedug untuk kesenian kuntulan berukuran panjang 90 cm dan lebar 80 cm,” jelasnya.
Tapi tidak jarang dirinya menerima pesanan membuat bedug berukuran jumbo. Harganya pun bervariasi mulai Rp3,5 juta sampai Rp8 juta. tergantung ukuran dan kualitas bahan, seperti pelat besi dan kulit.
Menurutnya, bahan baku kulit dia dapatkan dari pemasok alias jagal sapi. Untuk menghasilkan bedug dengan kualitas prima alias menghasilkan suara yang “empuk” dan bergema, bahan baku yang digunakan adalah kulit sapi Jawa. Khususnya sapi betina. “Kalau menggunakan kulit sapi jenis lain, suaranya kurang enak,”ungkapnya.
Kulit sapi yang digunakan, lanjutnya, harus kulit sapi yang masih segar. Yakni sapi yang dipotong pagi hari, dan terima hari itu juga untuk langsung diproses menjadi bahan baku bedug. Jadi, kulit yang digunakan untuk bahan baku bedug itu tidak boleh kulit yang diproses sehari setelah sapi tersebut dipotong,” jelasnya.
Sementara itu, menurut Imik, untuk pembuatan terbang, tidak sembarang kulit bisa digunakan. Tentunya pemilihan kulit ini bertujuan untuk menghasilkan terbang dengan kualitas yang bagus. “Untuk terbang, bahan baku terbaik yang bisa digunakan adalah kulit kambing,” pungkasnya.