Cagar Budaya, Pemkot Keluarkan Izin Pasar Eks Penjara Koblen
Meski tak sepopuler Penjara Kalisosok, Penjara Koblen yang juga berada di wilayah Utara Surabaya itu tetap menyimpan sejarah panjang. Pendiri Nahdlatul Ulama dan Ponpes Tebu Ireng KH Hasyim Asy'ari pernah mendekam selama tiga bulan di penjara yang dibangun pada tahun 1930 itu oleh Belanda. Selain itu, ada pendiri Sampoerna Liem Seeng Tee. Semasa penjajahan, Tangsi Koblen amat ditakuti.
Kini fungsi Koblen memang bukan lagi ruang tahanan, karena sudah dipakai lagi sejak Jepang tak memerintah di Indonesia. Kini bangunan sarat akan sejarah itu dianggurkan begitu saja, Pemkot Surabaya seakan tak mau tahu nasib bangunan yang menjadi saksi bisu perjalanan Kota Pahlawan.
Bahkan, Pemkot Surabaya kini justru memberi izin untuk menjadikan bangunan itu sebagai pasar buah. Informasi itu disampaikan oleh Anggota DPRD Kota Surabaya, Mahfudz, Minggu 24 Januari 2021.
Padahal menurutnya, Pemkot Surabaya memiliki komitmen untuk menjaga bangunan cagar budaya di Surabaya. Komitmen itu tertulis dalam Perda Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Cagar Budaya.
Atas dasar itulah, kata Mahfudz, Pemkot telah menjilat ludahnya sendiri dengan mengeluarkan izin usaha pengelolaan pasar rakyat di eks Penjara Koblen. Apalagi, kondisi bangunan cagar budaya itu jauh dari kata terawat.
“Pemkot itu tidak konsisten. Bangunan ini sejarahnya panjang, pendiri NU pernah ditahan di situ. Harusnya kan dirawat, dibenahi, dijadikan bagus, kalau bisa jadi museum atau tempat jujukan wisata. Tapi ini tidak dilakukan, malah dijadikan pasar buah,” kata Mahfudz.
Dari informasi yang diterima Mahfudz, Pemkot Surabaya melalui Dinas Perdagangan telah memberikan izin pengelolaan pasar rakyat (IUP2R) kepada salah satu perusahaan untuk mengelola eks Penjara Koblen sebagai Pasar Buah dengan nomor 503/01.O/436.7.21/2021. Izin itu sudah dikeluarkan oleh Pemkot pada 14 Januari 2021 lalu.
Dengan izin itu, Mahfudz tak tahu bagaimana arah kebijakan Pemkot untuk bangunan cagar budaya di Kota Surabaya. Padahal menurutnya, jika Pemkot bisa memanfaatkan bangunan cagar budaya di Surabaya, tak terkecuali eks penjara ini, bukan tak mungkin pariwisata Surabaya bakal ramai yang dampaknya ke ekonomi warga.
“Kalau bangunan sejarah itu dirawat, sejarahnya didalami, lalu jadi tempat wisata, pasti ramai Surabaya ini. Bisa seperti Singapura atau Belanda yang melindungi bangunan sejarahnya. Masalahnya kan Pemkot tak pikir kesana. Pikirnya keuntungan saja, tanpa melihat sejarah dan langkah ke depan itu,” katanya.
Untuk itu, guna melindungi eks Penjara Koblen dan bangunan cagar budaya lainnya, Mahfudz meminta Pemkot Surabaya untuk meninjau ulang izin pengelolaan pasar buah tersebut. Jika memungkinkan, izin itu harus dicabut sebagai bentuk komitmen pemkot atas sejarah Kota Surabaya.
“Saya minta untuk ditinjau ulang, kalau bisa dicabut saja. Ini perkara sejarah. Kalau bangunan sejarah saja tak bisa dijaga, bagaimana menjaga amanah warga Surabaya?,” tanya Mahfudz mengakhiri komentarnya.