Cadangan Devisa Kian Tergerus, Seberapa Serius?
BARU saja (5/10/2018), Bank Indonesia mengumumkan cadangan devisa per akhir September 2018 sebesar 114,8 miliar dollar AS, merosot sebanyak 3,08 miliar dollar AS dibandingkan sebulan sebelumnya sebesar 117,9 miliar dollar AS.
Penurunan cadangan devisa sudah berlangsung selama delapan bulan berturut-turut tanpa jeda sejak Februari 2018, dari aras tertinggi pada Januari 2018 sebesar 132 miliar dollar AS.
Sejauh observasi penulis, ini adalah penurunan berturut-turut terlama. Kinerja eksternal Indonesia yang terus memburuk sedemikian lama mencerminkan pemburukan strutural yang membutuhkan penanganan seksama. Tidak boleh dipandang sebelah mata, sekalipun Bank Indonesia menilai cadangan devisa sebesar 114,8 miliar dollar AS pada akhir September 2018 masih cukup tinggi.
Berikut adalah rilis lengkap Bank Indonesia:
“Posisi cadangan devisa Indonesia cukup tinggi sebesar USD114,8 miliar pada akhir September 2018, lebih rendah dibandingkan dengan USD117,9 miliar pada akhir Agustus 2018. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Penurunan cadangan devisa pada September 2018 terutama dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai didukung keyakinan terhadap stabilitas dan prospek perekonomian domestik yang tetap baik, serta kinerja ekspor yang tetap positif.”
Betul bahwa kinerja ekspor tetap positif, yakni tumbuh 10,4 persen selama Januari-Oktober 2018. tetapi, bukankah pada kurun waktu yang sama, transaksi perdagangan luar negeri (ekspor barang dikurangi impor barang) sudah mengalami defisit sebesar 4,1 miliar dollar AS. Defisit itu disebabkan pertumbuhan impor barang yang meroket sebesar24,5 persen, lebih dua kali lipat dari pertumbuhan ekspor barang. Defisit perdagangan terakhir terjadi pada 2014 dan itu pun hanya 2,2 miliar dollar AS.
Sejauh ini pemerintah lebih mengedepankan pengendalian impor untuk memperbaiki transaksi perdagangan luar negeri. Kita mendukung upaya ini jika menyasar ke pembasmian pemburuan rente. Di luar itu, tampaknya cara ini bakal kurang efektif dan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jauh lebih ampuh dengan menggenjot ekspor.
Ambil contoh grup Semen Indonesia yang berhasil memanfaatkan peluang ekspor dengan mengoptimalkan kapasitas produksi yang tak terpakai dan kelebihan pasokan semen di dalam negeri. Tahun ini grup Semen Indonesia mampu mencetak rekor ekspor tertinggi sepanjang sejarah. Upaya grup Semen Indonesia bisa ditiru oleh industri lainnya yang pemanfaatan kapasitas produksi reratanya masih sekitar 70 persen, bahkan beberapa industri hanya sekitar 50 persen seperti industri otomotif.
*) Faisal Basri adalah ekonom Universitas Indonesia. Tulisan ini dimuat ngopibareng.id atas ijinnya.