Buya Syafii Maarif, Pengusung Modernisme Islam
Ahmad Syafii Maarif, seorang di antara sesepuh bangsa. Dalam usia 85 tahun, Buya Syafii tetap sehat berpikir dan bertindak. Ia pemikir Islam terkemuka, sederet dengan Nucholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M Dawam Rahardjo, dan Jalaluddin Rakhmat.
Fachry Ali, pengamat sosial politik berdarah Aceh, memberi catatan tentang Buya Syafii Maarif berikut:
Dari editornya, David Krishna Alka, saya terima buku Buya Ahmad Syafii 85 tahun. Saya berterima kasih kepadanya. Tokoh-tokoh besar dan siklus hidup mereka, seperti Buya Syafii, telah menjadi pentas kaum muda intelektual mengartikulasikan diri. Selain David Krisna, Asmul Khairi pun muncul. Berdua, mereka menjadi editor buku menarik ini.
Lalu, di dalamnya bertabur kaum intelektual muda mengungkapkan proses pertemuan, pertemanan dan, tentu saja, kekaguman kepada Buya Syafii.
Saya sendiri bertemu Buya Syafii pertama kali di UII Yogyakarta pertengahan 1980-an. Bersama Nurcholish Madjid, saya diundang menjadi pembicara. Dan acara itu akhirnya jadi reuni Cak Nur dan Buya Syafii plus pendiri HMI Lafran Pane —yang juga untuk pertama kalinya saya lihat. ‘Makan di rumah Mas Syafii di Chicago,’ ujar Cak Nur, ‘enak sekali.’ Keduanya memang murid Fazlur Rahman yang mengajar di Chicago University.
Dan sejak pulang dari Chicago, seingat saya, Buya Syafii menjadi pengeritik tradisi Islam. ‘Umat Islam sudah 1000 tahun berhenti berpikir,’ ujarnya. Dan tema ini saya dengar berulang-ulang. Disertasinya, yang diterbitkan LP3ES, adalah dokumentasi pemikiran ‘awal’-nya.
Sangat terasa semangat modernisme Islam di dalamnya. Itu pula yang menjelaskan mengapa Buya Syafii sangat aktif dalam beberapa pertemuan cendekiawan Islam yang, antara lain, diorganisir Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo. Buya Syafii dan semua peserta adalah kelompok ‘garis lurus’ modernisme Islam.
Saya kira, aspek ini tak terlihat dalam tulisan-tulisan di dalam buku 85 tahun Buya Syafii ini. Jika perspektif ini diambil, maka isinya, di samping pujian, juga ada analisis kritis tentang transformasi kecenderungan Buya dewasa ini. Misalnya, apakah ada pengaruh pertemanan Buya Syafii dengan suami Mbak Megawati, Taufiq Kiemas awal 2000-an?
Bagaimana Buya Syafii kita pahami ketika ia menggelar sikap begitu spesifik dalam kontestasi Pilkada Jakarta beberapa tahun lalu —dari sebelumnya modernis Islam ‘garis lurus’?
Mungkin, membahas Buya Syafii dari perspektif ini jauh lebih memberi pelajaran kepada bangsa dan, tentunya, anak-anak muda. Selamat ulang tahun, Buya Syafii. Moga sehat selalu.