Buya Syafii Maarif di Pesawat, Seperti Orang-Orang
M. Syafii Maarif dikenal sebagai intelektual teduh. Tokoh Islam yang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini, tetap terjaga integritasnya. Pandangan-pandangannya dalam menyikapi persoalan bangsa selalu didengar dan diperhatikan publik.
Seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Arif Maftuhin yang kebetulan satu pesawat bersama Buya M Syafii Maarif dalam perjalanan Jakarta-Yogyakarta. Ternyata ada yang menarik dari catatan Arif Maftuhin, yang beredar di medsos yang juga disebar di akun facebook Ulil Abshar-Abdalla. Berikut petikannya untuk ngopibareng.id ini:
SEPERTI ORANG-ORANG
Saya sering membaca di Facebook orang menggunakan ungkapan "biar seperti orang-orang..." ketika mereka bisa melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu yang bisa ia ceritakan. Misalnya, sedang piknik dan ia bilang "biar seperti orang-orang..."
Sebagian melakukan itu dengan niat bergurau. Saya pun akan menggunakan kalimat itu bila diperlukan. Biasa saja. Orang boleh punya keinginan agar bisa "seperti orang orang..." Di tempat-tempat seperti bandara, kadang juga saya ingin seperti orang-orang yang saya lihat bawa tas bermerek, baju rapi, kelihatan sukses... Ngaso di executive lounge. Manusiawi saja kan?
Tetapi. Apa iya harus seperti orang-orang?
"Saya segera mengejar, menjabat dan mencium tangannya (saya tahu beliau Muhammadiyah, tetapi biarin! Beliau saya anggap guru kok)," kata Arif Maftuhin.
Tadi, dalam penerbangan pulang dari Jakarta, saya duduk sebaris dengan ORANG INI. Ia tidak seperti orang-orang. Selama di pesawat, saya lirik beliau dan gerak geriknya. Sangat biasa. Sangat TIDAK seperti orang orang. Meskipun punya nama besar dan pengaruh penting di negeri ini, beliau ya begitu saja. Duduk, istirahat sejenak, lalu salat maghrib di kursinya. Tidur.
Saya tidak sempat ngobrol di pesawat karena duduk kami yang berjarak. Tetapi begitu turun dari pesawat, saya segera mengejar, menjabat dan mencium tangannya (saya tahu beliau Muhammadiyah, tetapi biarin! Beliau saya anggap guru kok).
"Pak Syafi'i, saya Arif. Saya pernah ke rumah Bapak dulu untuk menemani Prof. Merle Ricklef. Saya dulu asisten risetnya."
"Oh, itu dulu Anda?" katanya sambil senyum.
Selepas tangan saya dari tangan kanan beliau, tangan kirinya yang ganti memegang erat. Sepanjang perjalanan, saya biarkan tangan kanan saya menjadi tongkat bagi tangan kirinya, melengkapi tongkat kayu di tangan kanannya.
Kami lalu berbincang banyak hal. Kami baru berpisah persis di depan loket taksi bandara. Tidak ada yang menjemput beliau. Ketika saya tanya mengapa tidak ada yang menjemput, jawabnya "Gampang, ini saja sampai rumah."
Saya sering mendengar cerita tentang kesederhanaan beliau. Hari ini saya merasakan sendiri. Kalau melihat apa yang sudah disumbangkan Buya untuk Indonesia, di satu sisi, dan kesederhanaannya di sisi lain, koq saya yakin bahwa saya tidak ingin seperti orang-orang. Cukuplah seperti orang ini. (Arif Maftuhin)