Butuh Rp2 Juta Dolar Tangani Perubahan Iklim, RI di Forum IPU
Negara-negara berkomitmen menerapkan energi baru terbarukan dalam upaya penanganan climate change (perubahan iklim), butuh insentif atau bantuan pendanaan.
“Katakan seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, dan lain sebagainya, seratus tahun lalu mereka menebangi pohon semua. Hari ini mereka sudah tidak menebang pohon lagi. Tetapi, negara-negara seperti Indonesia, Brasil, India itu baru berkembangnya sekarang tinggi. Mereka juga harus menyadari bahwa pohon-pohon juga harus dipelihara.
"Itu akan tetapi butuh waktu, tenaga dan biaya tidak sedikit," kata Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Achmad Hafizs Tohir, saat ditemui RRI.co.id di sela-sela Forum Persatuan Antar Parlemen (IPU) ke-144, di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Rabu 22 Maret 2022.
Ia memperkirakan, diperlukan biaya mencapai USD 2 juta untuk penerapan energi baru terbarukan serta untuk pengganti pembangkit listrik di Indonesia.
"Bayangkan saja kalau langsung mengikuti semua permintaan dari climate change (perubahan iklim) tersebut, 70 sampai 85 persen pembangkit listrik kita harus setop (dihentikan), untuk diganti dengan energi terbarukan. Itu bukan barang mudah, membangun power plant (pembangkit listrik) itu dua juta dollar Amerika per megawatt. Kalau kita harus membangun 85 persen, butuh Rp2.000 triliun untuk mengubahnya. Sebutlah seperti itu," jelasnya, seperti disiarkan RRI dalam liputannya.
Paru-paru Dunia
Bank Dunia serta lembaga keuangan lainnya didorong untuk dapat memberikan insentif kepada negara-negara berjulukan memiliki "paru-paru dunia", salah satunya Indonesia.
"Pertama paling tidak kita akses untuk kesediaan dana dan itu harus mudah. Kalau selama ini kita melihat bahwa untuk melakukan (sesuatu), apa-apa fund raising (pengumpulan dana) dengan obligasi dan juga buat surat utang berbunga cukup tinggi. Nah, mereka di World Bank (Bank Dunia) dan lembaga keuangan dunia, harus mengetahui bahwa negara-negara berkomitmen lakukan adaptasi terhadap climate change harus diberikan insentif. Jadi tidak serta merta bahwa kita melakukan tanpa ada solusi," paparmya.
Karena ini merupakan gerakan teramat besar, dunia sangat tergantung pada empat negara besar dengan "paru-paru dunia".
"Mereka adalah Brasill, India dan Indonesia serta di Afrika seperti Nigeria dan Kenya," sambungnya.
Menurut Hafizs, Indonesia sudah komitmen mengatasi perubahan iklim, sehingga memerlukan bantuan pembiayaan dari internasional.
Sebab, butuh prinsip kesetaraan dalam upaya mengatasi perubahan iklim antara negara-negara maju dan berkembang.
"Saya ingatkan bahwa di dalam prinsip-prinsip equal (kesetaraan), tidak bisa suatu kehendak dipaksakan kepada orang tak berdaya. Artinya, Indonesia siap untuk mengamankan climate change (perubahan iklim) tersebut. Tetapi, kami minta solusi terhadap bagaimana membiayai semua ini. Karena ini butuh Rp117 ribu triliun sampai di tahun 2035. Ini tidak sedikit, sama besarnya dengan GDP (Pendapatan Domestik Bruto-PBD) kita," terangnya.
Secara khusus, ia mendorong penerapan green economy (ekonomi hijau), menyentuh langsung kalangan masyarakat.
Butuh Analisis Lingkungan
"Bayangkan nanti kita mau minta kredit katakanlah buka warung. Kemudian analisis lingkungannya kalau warung itu berdiri di atas sungai pasti ditolak bank. Karena, dia akan mempelajari aspek lingkungan dan juga green economy. Jadi ini bukan perkara, ini perkara pelik, dan juga perjalanan panjang menuju proses zero emission (emisi nol)," ucapnya.
Ia memastikan pemerintah Indonesia berkomitmen menjalankan berbagai prinsip hasil keputusan bersama dunia internasional terkait perubahan iklim.
"Tetapi base on effort (berdasarkan berbagai upaya) Indonesia komitmen untuk ikut itu, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari pemerintah Republik Indonesia. Bahwa kami siap untuk menjalankan apa kesepakatan bersama dalam Konvensi Paris dan Jenewa dan Finlandia dimulai di Rio de Janeiro tempo hari," tutupnya.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo ketika membuka Forum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-144, Minggu 20 Maret 2022 malam di BICC Nusa Dua, Bali, menyebut, diperlukan dukungan dunia membantu negara-negara berkembang dalam upaya penanganan perubahan iklim.
Salah satunya dengan memberikan pendanaan.
"Ini harus segera kita selesaikan. Kedua, investasi dalam rangka renewable energy (energi terbarukan). Kemudian, berkaitan dengan transfer teknologi. Kalau ini tidak riil dilakukan sampai kapanpun, saya pesimis. Sehingga perubahan iklim ini betul-betul tidak dapat kita cegah," jelasnya.
IPU tahun ini mengusung tema "Mencapai Nol : Memobilisasi Parlemen untuk Bertindak atas Perubahan Iklim".
IPU ke-144 berlangsung pada 20-24 Maret dan akan menghasilkan resolusi maupun rekomendasi, salah satunya terkait perubahan iklim.