Butet Kertarejasa, Urip Mung Mampir Nguntal
Saya merasa harus datang. Ketika seniman beken Butet Kertarejasa menandai usianya yang ke-60, Minggu, 21 Nopember 2021. Yang berlangsung di Sangkring Art Space milik pelukis yang lagi naik daun Putu Sutawijaya di Bantul, Yogyakarta.
Padahal, minggu pagi masih harus mendatangi resepsi mantenan anak buah di Sidoarjo. Ini juga harus datang karena ia sudah lama menjadi anak buah saya sebagai tim IT ngopibareng.id: Aldino Rizki Febrianto.
Selesai salaman dengan manten di Sidoarjo pukul 10.00 WIB, saya langsung meluncur ke Jogjakarta. Untung ada tol Trans Jawa. Yang membikin perjalanan Sidoarjo-Jogja lebih pasti. Sehingga bisa bergabung dengan sejumlah teman di acara Butet pukul 15.00 WIB.
Mengapa harus keroyo-royo datang? Pertama, Butet jelas bukan orang lain bagi saya dan keluarga. Sudah sejak muda kami menjalin perkawanan yang sangat akrab. Tidak hanya dengan Butet. Tapi juga adiknya Almarhum Djaduk Ferianto.
Kedua, ulang tahun ke 60 Butet ini sangat istimewa. Sebab, berlangsung ketika ia berjuang melawan ‘’maut’’ dan ketidakberdayaan sebagai manusia. Sejak beberapa bulan lalu, ia terbaring sakit karena hasil operasi saraf tulang belakangnya bermasalah.
Ia sempat putus asa dengan sakitnya. Ia mengaku sempat depresi dan tak punya harapan dengan kehidupan. Apalagi masa depan. Ia tak bisa berjalan. Juga tak bisa berdiri tegak tanpa alat bantu. Padahal, ia seorang aktor. Bayangkan!
Dua bulan sebelumnya saya sudah membesuk dia. Di rumahnya. Saat itu, ia sedang berjuang mengulik semangat. Bahkan, dengan mendatangkan sejumlah temannya secara bergiliran. Hanya untuk menyelimur rasa sakit. Hanya untuk menyemangatinya.
Beberapa kali ia selalu bilang tidak muluk-muluk dengan hidupnya. Tidak punya target umur panjang. Ketika kakak perempuan tertuanya meninggal di usia 46 tahun, ia mengaku bersyukur jika sampai umur itu.
Begitu pula ketika sejumlah orang terdekatnya juga meninggal dunia. Apalagi setelah Jaduk, adik sekaligus partner utamanya dalam berkesenian, meninggal tiga hari menjelang gelaran Ngayogjazz 2019 yang diprakarsainya.
Butet bukan sosok yang saleh dalam beragama. Tapi ia menghayati betul nilai-nilai kepasrahan kepada Tuhannya. Ia seperti tak takut dengan kematian. Sementara banyak orang beragama yang menjadikan kematian sebagai sebuah peristiwa yang begitu mencemaskan.
Ia menikmati kehidupannya sebagai seniman dengan penghayatan yang dalam. Tidak hanya menjadikan kesenian sebagai seni. Tapi juga sebagai sikap terhadap kehidupan. Maka semua karyanya selalu memiliki makna: menyadarkan. Dari kesadaran berbangsa sampai kemanusiaan.
Saya tak begitu ingat awal perjumpaan saya dengan Butet. Tapi tidak jauh dari irisan pertemanan saya dengan Cak Nun --Emha Ainun Nadjib-- ketika saya masih mahasiswa dan memulai kerja sebagai wartawan.
Bahwa perkawanan itu awet sampai sekarang, tentu itu kelebihan Butet semata. Ia begitu piawai dalam merawat pertemanan. Apalagi ia punya kecerdasan lidah yang luar biasa. Penjelajah makanan yang tak ada duanya.
Dia selalu mempunyai referensi baru tentang makanan enak. Ia pelahap makanan apa saja, meski gula darah telah menggerogotinya sejak lama. Bahkan, selalu ada ritual jelang makan bersama. Menyuntikan insulin di lengannya.
Bersama Butet seringkali menjadikan hidup ini sekedar mampir nguntal, bahasa Jawa kasar makan. Selalu ada yang baru tempat makan enak yang harus dikunjungi bersamanya setiap kali ke Jogjakarta.
Jika tidak, ia pun mengundang ke rumah hanya untuk makan bersama masakan istrinya, Rully Bu Ageng, yang juga sangat istimewa. Restoran Bu Ageng miliknya pun tak kalah ngangeni jenis makanannya.
Ketiga, Butet seniman dengan jaringan perkawanan yang luas. Mulai tokoh masyarakat, politisi, wartawan dan tentu saja para seniman. Karena itu, saya sejak dari rumah Surabaya sudah membayangkan akan ketemu kawan lama yang sama-sama ingin ikut menyemangati Butet.
Benar saja. Sangkring Art Space yang asyik itu tidak hanya menjadi tempat perhelatan Butet menandai usianya yang ke-60. Tapi juga menjadi ajang reuni berbagai kelompok masyarakat yang sama-sama punya irisan perkawanan dengan Butet.
Dalam sakitnya, Butet masih memberi manfaat mempertemukan manusia-manusia yang sedang kangen untuk saling berjumpa. Apalagi setelah pandemi Covid-19 yang membuat semua orang tak bebas bergerak untuk bertemu secara fisik.
Tujuan mereka semua datang tentu untuk menyemangati Butet. Tapi mereka juga menyimpan kepentingan bertemu kawan lainnya. Karena itulah, meski acara utama telah selesai, tempat itu masih ramai orang saling reriungan secara berkelompok.
Ada sejumlah tokoh tua. Seperti Joko Pekik, Kartika Afandi, Gunawan Mohamad, Nano Riantiarno, Romo Sindunata. Ada juga Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono, Yenni Wahid, dan Lukman Hakim Saefuddin.
60 perupa juga menyajikan pameran bertema Menawar Isyarat. Mereka menampilkan karyanya berukuran 60 x 60. Termasuk di dalamnya karya Nasirun, Bambang Herras, Putu Sutawijaya, dan Jumaldi Alfi.
Semua itu membuat Ulang Tahun Butet ke 60 bukan hanya penanda tambah umurnya. Tapi juga menunjukkan kelas sosial dia sebagai seniman yang punya jaringan perkawanan yang luas.
Amat jarang seniman yang jaringan perkawanannya lintas batas dan lintas keyakinan. Juga jarang seniman yang dihormati seniman lain karena dianggap memberi manfaat kepada mereka.
Selamat tambah umur Butet. Segera sehat kembali. Biar kita bisa setiap saat berburu tempat nguntal yang legen dan memanjakan lidah. Asuwok!