Butet Kertarejasa, Urip Mung 60++ Tahun Ngguyu
Minggu sore 21 November kemarin tergelar sebuah pesta ulang tahun sederhana tapi mewah secara budaya. Butet Kartaredjasa sebagai penganten ultah hadir dengan perasaan campuraduk — ia sangat sedih hingga menangis berulang kali di atas panggung, juga bahagia luar biasa karena ia tahu begitu banyak sahabat yang mengharapkan hal-hal terbaik terjadi dalam hidupnya, di saat usianya tepat mencapai 60 tahun dan untuk seterusnya.
Ia berjalan tertatih-tatih sepanjang hampir 100 meter dari gerbang Sangkring Art Space ke panggung, dengan bantuan tongkat berkaki empat. Hadirin menyemangati dengan tepukan di setiap seretan langkahnya. Itu adalah kemajuan besar diukur dari pekan-pekan sebelumnya, ketika ia nyaris putus asa di tengah depresi berat yang bahkan membuatnya tak sanggup mengeluarkan suara.
Batinnya seolah membisikinya fakta getir: kau tak perlu lagi punya kemampuan bersuara, sebab memang tak ada lagi yang perlu dan bisa kau katakan.
Tapi di panggung studio milik perupa Putu Sutawijaya di Bantul itu, Butet bukan hanya kembali mampu bersuara: ia menceritakan ringkas kondisinya dengan lancar, bahkan membacakan puisi karyanya yang menampung puncak kegalauannya atas kondisi tubuh yang terlalu berat untuk ditanggungkan.
Puisi itu kemudian dinyanyikan oleh grup Sinten Remen dengan aransemen dan melodi yang sangat baik, jauh lebih baik dibanding lagu-lagu sindiran jenakanya. Sang penyanyi berjuang keras untuk mampu menyelesaikan lagu sampai habis, tanpa dihentikan oleh tangisnya; Butet sendiri telah habis disayat oleh airmatanya.
Pelan-pelan lapangan kecil di depan panggung itu rupanya telah dipenuhi tamu. Saya baru menyadarinya ketika, sesudah menerima buku peringatan ultah, diminta memberi komentar — di depan, agak di bawah sana, ternyata tetamu sudah sangat banyak. Saya hanya bicara dua menit; selain saya tahu bukan komentar saya yang ditunggu hadirin, saya juga kuatir menangis jika bicara lebih lama. Saya cuma bilang: Butet selama empat puluh tahun terakhir menjalani begitu banyak profesi, tapi kehadiran kawan-kawannya dari berbagai kota sore ini hanya menegaskan satu hal: bahwa dia orang baik.
Acara dimeriahkan juga dengan pameran 60 perupa, yang masing-masing melukis di kanvas 60 x 60 cm; sebuah pameran dengan judul yang penuh makna: “Menawar Isyarat” — Butet merasa mendapat sejumlah tanda, tapi ia belum ingin berakhir sekarang, dan karenanya mencoba menawar isyarat itu dengan suatu kepasrahan yang optimistis.
Namun acara semuram apapun tidak akan mampu membenamkam sisi jenaka Butet, terutama bagi Susilo Nugroho, aktor Teater Gandrik yang menjadi pembawa acara. Melihat Butet menaiki panggung dengan tertatih sambil dibantu beberapa orang, Susilo bergumam: “Wis koyo ngono kuwi kok arep rabi meneh — kondisi sudah seperti itu kok kepengen kawin lagi.” Tentu ia menduga komentar spontan itu mustahil didengar oleh seluruh hadirin — toh dia cuma bicara sangat pelan kepada diri sendiri (di depan mikrofon).
Butet menceritakan momen puncak keputusasaannya, dan meminta kepada Sindhunata yang menjenguk ke rumahnya beberapa pekan sebelumnya: “Romo Sindhu, sampean pastur Katolik, aku Kristen. Tuhan kita sama. Kalau memang Tuhan kita baik, tolong mohonkan supaya saya diberi kesembuhan…” Ia tak menceritakan apa tanggapan sang romo atas racauan delusionalnya. Yang didengar hadirin kemudian adalah breaking news dari MC Susilo: “Wah, sekarang kita tahu: ternyata Butet beragama!”
Buku peringatan yang menyertai ulang tahun ini juga mengesankan. Berjudul “Urip Mung Mampir Ngguyu” — sebuah tagline pelesetan Butet atas kearifan Jawa yang mashur — buku 500an halaman itu berisi tulisan 60 orang, dibuat hanya dalam sebulan oleh tim tangguh yang diorganisasikan oleh Agus Noor, Hairus Salim dan Puthut EA. Memuat banyak foto yang menggambarkan perjalanan hidup dan karir Butet — sebagai aktor panggung dan film, penulis dan perupa — buku ini menjadi dokumentasi lengkap yang selayaknya membuat iri rekan-rekannya sesama seniman.
Seluruh anggota tim buku tidak akan mau melakukan pekerjaan yang terlalu berat dan dengan himpitan tenggat yang mendebarkan jika mereka bukan bermaksud memberi hadiah terbaik kepada orang yang berulang tahun.
Butet Kartaredjasa bagi saya adalah penubuhan bersahaja dari keindonesiaan. Kita berterima kasih kepadanya karena, dengan caranya sendiri, ia menghadirkan arti menjadi Indonesia. Ia tak berniat mewakili orang lain, tapi dengan mewakili dirinya sendiri ia telah mewakili kita semua.
Ia adalah sebuah rangkaian statemen panjang dengan aneka bahasa — dengan bahasa daya cipta, dengan lingua dan idiom kehidupan keluarga dan pergaulannya yang lintas batas, juga dengan warisan kokoh keindonesiaan dari orangtuanya.
Kehadiran para sahabatnya di Minggu sore itu adalah dukungan penuh terhadap proyek pribadinya untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Saya rasa ia memperhatikan dengan sungguh-sungguh pernyataan dukungan itu, menghargainya dan memastikan akan melanjutkan proyeknya — dengan terus ngguyu sambil menumbuhkan kesabaran baru. ***