Butet Kertarejasa, Membawa Inovasi dalam Teater Indonesia
Di luar kritik-kritik sosialnya, Butet Kertarejasa tak hanya seorang seniman biasa. Ia telah membawa tradisi baru teater di Indonesia.
Itu bisa dilihat dari pementasan Indonesia Kita. Yang kali ini telah pentas ke 42. Berlangsung di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pementasan teater modern berbasis tradisi ini terakhir mengambil tajuk Si Manis Jembatan Merah. Repertoar yang digarap Agus Noor, penulis berbakat asal Jogjakarta.
Seperti biasanya, Indonesia Kita melibatkan sejumlah artis dan komedian terkenal. Misalnya ada Cak Lontong, Akbar, Andrl Wisben, Ine Febrianti dan Inayah Wahid. Juga Marwoto dan Susilo.
Bagi yang sudah pernah menonton pertunjukan Teater Gandrik, Indonesai Kita adalah Gandrik dengan kemasan baru. Menggunakan model sampakan dengan alur cerita yang sederhana.
Tidak perlu mengerutkan dahi dalam-dalam untuk bisa menikmati repertoar Indonesia Kita. Bahkan, sepanjang pertunjukan selama 3 jam, perut kita dikocok dengan komedi sarkatis tanpa henti.
Pertunjukan teater yang mengusung Orkes Sinten Remen sebagai pengisi musiknya ini memang bukan jenis teater modern yang serius. Seperti pementasan teater dengan naskah cerita yang memerlukan perenungan.
Dalam Si Manis Jembatan Merah mengisahkan kegelisahan kenapa republik ini sepertinya makin jauh dari cita-cita luhur kemerdekaan. Karena itu, mengingat dan mengenang semangat perjuangan jaman kemerdekkaan menjadi sangat penting.
Jembatan merah menjadi setting cerita yang ditampilkan para seniman dari berbagai latar belakang ini. Dalam sejarah kemerdekaan, Jembatan Merah –lokasinya di Surabaya– menjadi saksi sejarah perlawanan rakyat terhadap tentara sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia.
Dalam repertoar Indonesia Kita yang ke-42, Jembatan Merah menjadi tempat seorang hantu yang digambarkan sebagai seorang Raja Jawa. Hantu ini yang selalu ‘’mengganggu’’ kehidupan manusia. Dari tempat itu, cerita yang dibumbui komedi berlangsung. Juga ditunggui hantu seorang perempuan cantik.
Seorang veteran masih sering mengunjungi jembatan merah. Ia terus mengenang perang yang dialaminya saat mempertahankan jembatan tersebut. Baginya, kenangan itu sangat berarti karena jika jembatan itu jatuh ke tangan musuh, maka akan jatuh pula kota itu.
Bagi veteran dan hantu yang digambarkan sebagai raja Jawa, jembatan merah menjadi tempat kehidupannya paska mati. Tapi, bagi gelandangan, preman, dan penjual jamu, jembatan itu menjadi pelindung bagi orang-orang kalah. Juga bagi anak-anak muda yang mempunyai mimpi besar.
Cerita Si Manis Jembatan Merah menjadi sangat hidup dengan kehadiran Cak Lontong dan Akbar. Dua komedian asal Surabaya ini mengajak tawa penonton dengan logika-logika terbalik yang biasa mereka mainkan dalam pementasan mereka di berbagai acara.
Apalagi ditambah dengan penampilan Abdel Wisben. Saya baru tahu komedian ini bisa menghayati main teater populer. Ia seperti langsung tune in dalam kelompok para seniman teater lainnya. Sungguh, Indonesia Kita menjadi tontonan teater yang menyegarkan di tengah kegelisahan dinamika politik belakangan ini.
Ia bisa mengemas kritik-kritik sosial kekinian menjadi sebuah tontotan yang menghibur. Menyampaikan satire atas realitas sosial secara komedi. Mengajak penonton merenungkan apa yang sedang terjadi sekaligus mentertawakannya. Cara ini adalah cara jitu ketika cara lain menemui jalan buntu.
Tapi bisakah teater populer seperti Indonesia kita ini akan terus berkembang ke depan? Akankah ekosistem politik kebudayaan kita mendukung lahirnya seniman-seniman baru yang masih tertarik mementaskan teater populer seperti ini?
Meski dalam pementasan dua hari dipenuhi dengan penonton, namun mementaskan jenis teater yang digagas Butet dan almarhum adiknya Jaduk Ferianto ini tak mungkin bisa pentas jika hanya mengandalkan penjualaan tiket. ‘’Belum masuk kalau tanpa sponsor,’’ kata Butet.
Itupun, lanjut dia, tontotan seperti ini bisa berlangsung jika menggunakan pendekatan kebudayaan. Belum bisa jika harus memakai pendekatan industri. ‘’Kami tidak mungkin membayar Cak Lontong, Ine Febrianti dan artis-artis lainnya kalau pakai standar industri,’’ katanya.
Sayang makin sedikit seniman yang berkomitmen untuk membangun dunia kebudayaan seperti ini. Apalagi di teater. Saya masih belum menemukan generasi baru setelah Butet ini yang berkomitmen untuk berkesenian sekaligus berkebudayaan.
Atau mungkin bentuk-bentuk pementasan teatrikal seperti Indonesia Kita ini akan diadopsi melalui media lain? Misalkan memfilmkan teater musikal komedi? Bukankah sudah banyak contoh film berbasis teater diproduksi di Barat?
Saya belum bisa melihat masa depan teater kita. Yang bisa kita prediksi semakin maju dan sejahtera suatu bangsa, tingkt kebutuhan masyarakatnya akan semakin berkembang. Mereka tak hanya butuh kepuasan yang bersifat materialistik. Tapi juga kebutuhan spiritual dan batiniah.
Karena itu, kita tetap butuh inisiatif berketerusan dari komunitas kesenian kita. Yang bisa terus mebgisi relung jiwa kita. Bukan hanya sibuk untuk memikirkan isi perut kita. Apalagi terlena dengan kecenderungan akan keserakahan umat manusia.
Indonesia Kita adalah Kita. Semoga mereka terus masih punya sisa energi untuk bisa memproduksi karya-karya berikutnya.
Advertisement