Busro Kritik Jokowi, SP3 Kasus BLBI Buah dari Revisi UU KPK
Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas mengungkapkan, penghentian pengusutan dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) jadi bukti tumpulnya penegakan hukum akibat revisi Undang-Undang KPK.
Seraya menyindir dengan mengucapkan selamat, dia menyinggung Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus BLBI adalah buah dari kebijakan Presiden Joko Widodo meloloskan revisi UU KPK.
"Ucapan sukses besar bagi pemerintah Jokowi yang mengusulkan revisi UU KPK yang disetujui DPR juga parpol-parpol yang bersangkutan. Itulah penerapan kewenangan menerbitkan SP3 oleh KPK Wajah Baru," kata Busyro kepada dalam keterangannya secara tertulis, Sabtu, 3 April 2021.
Busro menilai, SP3 itu bukti nyata tumpul dan tandusnya rasa keadilan rakyat yang dirobek-robek atas nama Undang-undang KPK hasil revisi usulan presiden," ujarnya.
Padahal, Busyro mengingat, skandal mega korupsi BLBI sebelumnya sudah diurai oleh KPK era lama. Tapi kini semua proses penegakan hukum itu terpaksa harus kandas.
Dia merasa sedang menyaksikan akrobat politik dalam penegakan hukum. Kondisi saat ini, menurut Busyro, bukan saja mengingkari jiwa keadilan sosial melainkan juga menjadi tanda kian redupnya adab penagakan hukum, politik legislasi hingga nilai Pancasila.
"Bagaimana skandal mega kasus perampokan BLBI yang pelik berliku licin, dan panas secara politik penuh intrik itu sudah mulai diurai oleh KPK rezim UU KPK lama, begitu diluluhlantakkan dan punah total dampak langsung dominasi oligark politik melalui UU," kata Busyro.
Jika memang masih ada kejujuran dalam mengelola bangsa ini, Busyro berharap, kemungkinan penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) dari Presiden Jokowi dan putusan Mahkamah Konstitusi atas sejumlah permohonan uji materi revisi UU KPK.
"Di titik inilah kita kiranya cukup melihat legitimasi politik dan moral presiden dan hakim-hakim MK," kata Busyro yang juga Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum.
SP3 untuk Memenuhi Kepastian Hukum Tetap
Sebelumnya, KPK mengumumkan penghentian pengusutan kasus tindak pidana BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim (ISN).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, keputusan yang dituangkan dalam SP3 itu sesuai Pasal 40 UU KPK.
"Penghentian penyidikan terkait kasus TPK yang dilakukan oleh tersangka SN selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia, dan ISN, bersama-sama dengan SAT selaku ketua BPPN," kata Alex, Kamis, 1 April 2021.
Penghentian kasus korupsi diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pasal 40 UU a quo menyatakan, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Posisi Kasus BLBI
KPK sebelumnya menetapkan Sjamsul beserta istrinya, Itjih sebagai tersangka kasus BLBI pada 2019. Penetapan status tersangka kala itu merupakan pengembangan usai menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
Perkara ini bermula pada 1997, saat Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul menerima kucuran BLBI dengan dana sebesar Rp37 triliun.
BLBI merupakan skema bantuan atau pinjaman dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter di penghujung era Orde Baru.
Kemudian pada 1998, BPPN dan Sjamsul melakukan penandatanganan atas penyelesaian pengambilalihan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement atau MSAA.
Dalam perjanjian disebutkan jika BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab menyelesaikan kewajiban baik secara tunai atau berupa penyerahan aset.
Jumlah kewajiban Sjamsul saat itu sebesar lebih dari Rp47 triliun, kemudian dikurangi dengan aset sejumlah Rp18 triliun, termasuk di antaranya pinjaman kepada petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Aset Rp4,8 triliun itu direpresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence dan Legal Due Dilligence, disimpulkan aset tersebut tergolong macet, sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.
Namun begitu, pada tahun 2004, Kepala BPPN saat itu Syafruddin justru menerbitkan Surat Keterangan Lunas atau SKL kepada Sjamsul. Hal ini kemudian berdampak pada hak tagih atas utang petambak menjadi hilang atau terhapus.
Hampir 10 tahun berselang, dugaan rasuah BLBI ini mulai terendus KPK. Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang mengaku, pihaknya mulai menyelidiki kasus ini sejak 2013.
Proses penyelidikan memakan waktu hingga empat tahun. KPK baru menetapkan satu tersangka, Syafruddin pada Maret 2017.
Kemudian, berangkat dari proses penyidikan Syafruddin, KPK akhirnya menetapkan Sjamsul dan istrinya, Itjih sebagai tersangka pada 2019 meski keduanya tak pernah memenuhi panggilan KPK.
KPK sudah memanggil Sjamsul dan Itjih sebanyak tiga kali, yakni pada Oktober 2018 selama dua kali, dan Desember 2018 silam satu kali. Namun panggilan itu tak pernah digubris.