Busana Compang-camping, Benarkah Zuhud Jauh dari Kemewahan Dunia?
Belakangan, seiring perkembangan dunia yang didominasi sikap materialistik, ada kesadaran seorang Muslim ke arah asketisme atau Zuhud. “Ustad, mohon dijelaskan secara tegas makna sesungguhnya dari zuhud. Apakah benar harus menjauhkan diri dari kepentingan dunia?”
Demikian pertanyaan Wahyu Ikhwanto, warga Gunungsari Indah Surabaya pada ngopibareng.id.
“Seringkali telinga kita sudah familier dengan kata-kata zuhud. Dan anehnya ketika tersebut dengan kata zuhud, gambaran kita adalah sosok yang lusuh compang-camping, berbau, dan jauh dari kemewahan. Padahal definisi zuhud sendiri yang dinukilkan dari kitab Risalatul Qusyairiyah”.
Demikian penjelasan KH Ahmad Zain Badruddin, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur2, Bululawang Malang. Berikut jawaban lengkapnya:
Menurut Imam Sufyan Ats-Tsauri, adalah memperkecil cita-cita bukan memakan sesuatu yang keras dan bukan pula memakai pakaian mantel yang kusut. Menurut Ibnu Jala’, yang dimaksud zuhud adalah memandang dunia hanya pergeseran bentuk yang tidak mempunyai arti dalam pandangan. Sedangkan menurut Abu Sulaiman Ad-Darani, arti zuhud adalah meninggalkan aktifitas yang mengakibatkan jauh dari Allah SWT.
Pada zaman para sahabat sendiri, ada orang kaya raya tapi juga zuhud, dan ada pula yang miskin tapi juga zuhud.
Zuhud itu hanya soal ketergantungan hati.
Jika memiliki benda benda mewah, dan hatinya tidak terpaut kepada dunia hal ini dinamakan zuhud. Dan jika orang yang papa tapi hatinya berlebihan dalam cinta dunia ini bukan zuhud. Dan orang yang miskin dan papa akan tetapi hatinya bergantung terus kepada Allah inilah yang dinamakan zuhud.
Sebuah cerita dari guru kami Habib Ali Al Jufri tentang makna zuhud dan implementasi dari dua sudut pandang.
Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib cucu baginda Nabi Muhammad SAW. Imam pada zamannya, panutan kaumnya. Beliau selalu dalam keadaan memakai pakain yang paling baik dan mahal. Sehingga sahabatnya dari golongan orang orang zuhud dan berpakaian lusuh bertanya;
"Mengapa engkau memakai pakaian seperti ini, padahal engkau adalah pemimpin umat ?"
" Bukankah kita di ajarkan untuk zuhud terhadap dunia ?"
Beliau menjawab, dengan tenang;
" Pakaianku ini berkata;
انا غني عما في ايديكم
Inilah, saya kaya, saya tidak butuh terhadap pemberian kalian"
Sedangkan di satu sisi, Uwais al-Qarni, seseorang yang jika ia berdoa maka pasti akan dikabulkan seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, hingga pemimpin khalifah pada saat itu Umar bin Khottob dan Ali bin Abi Thalib mencari carinya untuk meminta doa dan menemuinya dalam keadaan pakaian yang compang camping sedangkan ia makan dari sisa-sisa tumpukan sampah di pasar.
Beliau berdua adalah sosok yang zuhud, sosok yang dunia tidak bisa melalaikan keduanya dari pada mengingat Allah SWT. Dua sosok yang berbeda tapi memiliki makna yang sama, yakni ketergentungannya hanya kepada Allah semata.
Kemudian jika kita runtut, ada Imam Abu Hasan as-Syadzili, Ibnu Hajar al-Asqalani, mereka adalah Ulama yang kaya raya tapi dengan kekayaannya tidak sampai melupakan Allah yang maha esa.
Pada saat ini, kita bisa menyaksikan beliau Al-Mukarram KH Nurul Huda Jazuli Ploso Kediri, Almaghfurlahu RKH M Badruddin Anwar, An-Nur Malang, dan masih banyak yang lainnya.
Akan tetapi kita juga tidak boleh ngoyo, ingin di anggap zuhud dengan sebab kemewahan, atau ingin dianggap zuhud sebab kemiskinan, berlakulah sesuai maqom masing-masing. Dilakoni opo enek’e Seperti yang dituturkan oleh Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari.
ِارَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ , وَاِرَادَتُكَ الاَسْبَابَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ العَلِيَّةِ
“Kehendakmu untuk menggapai maqom tajrid padahal kehendak Allah SWT mendudukkanmu di maqom asbab adalah merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu untuk menduduki maqom asbab padahal Allah SWT mendudukkanmu di maqom tajrid, berarti engkau telah turun dari tingkat derajat yang tinggi”.
Demikian penjelasan KH Ahmad Zain Badruddin, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur2, Bululawang Malang. (adi)