Bus Tiga Botol, Angkutan Kota yang Belum Miring
ADA bus umum unik di Surabaya: bayarnya pakai botol plastik. Itulah bus gagasan Bu Risma, wali kota Surabaya yang kini diangkat menjadi menteri sosial.
Bus itu genap berumur tiga tahun –minggu lalu. Masih bertahan –dengan sistem bayar pakai botol plastik itu. Selama tiga tahun –menurut dinas perhubungan– terkumpul botol plastik 150 ton
Botol-botol itu dijual. Laku Rp 500 juta –angka asumsi berdasar perolehan tahun pertama. Masih jauh dari pengeluaran pengoperasian bus. Yang per bulan tagihan BBM Dexlite sekitar Rp 500 juta –yang kalau ditotal, tiga tahun, sekitar Rp 18 miliar.
Tapi bus itu memang tidak untuk bisnis. Tidak harus untung. Bus itu milik Pemkot Surabaya. Dibiayai dari anggaran pemerintah kota. Bahwa sistem pembayarannya pakai botol plastik, itu sesuai dengan misi lingkungan Pemkot Surabaya. Yang memang begitu mementingkan kebersihan dan pertamanan.
Penampilan busnya sendiri masih terawat. Tetap bersih dan keren. Jumlahnya 20 bus. Warna dominannya merah-hati dengan ilustrasi finyet yang bagus.
Kalau toh ada kritik itu sepele sekali: bus itu tidak laris. Rata-rata penumpangnya hanya 50 persen. Termasuk sebelum pandemi sekali pun.
Bagi yang sering ke negara-negara maju itu tidak masalah. Penumpang 50 persen itu sudah banyak. Saya sering naik bus kota di berbagai kota di Amerika. Atau di berbagai negara di Eropa. Jarang sekali busnya penuh. Bahkan tidak jarang isinya hanya 5 orang: justru nyaman sekali.
Tapi Surabaya kan bukan di negara maju. Bus kota di negara-negara sekelas Indonesia biasanya sampai miring ke kiri.
Tentu harus dicari: mengapa Surabaya Bus –begitu nama resminya– tidak sampai miring ke mana pun. Ada yang menyalahkan, itu karena sistem pembayaran yang bukan uang itu. Penumpang harus cari tiga botol besar, atau lima botol kecil, atau 10 gelas plastik.
Yang jelas, tidak mungkin orang beli dulu air tiga botol, lalu diminum sampai habis, untuk kemudian naik bus.
Tapi belum tentu penyebabnya itu. Bisa jadi lebih mendasar dari itu. Misalnya, jangan-jangan, sekarang ini, tidak begitu banyak lagi orang yang perlu angkutan umum.
Lihatlah jalan-jalan raya di Surabaya: penuh dengan sepeda motor. Mereka lebih memilih naik sepeda motor daripada angkutan umum. Alasannya pun sungguh masuk akal.
Para perencana kota –tidak hanya di Surabaya– sudah harus memasukkan faktor sepeda motor dalam konsep tata angkutan kota. Sekarang, apalagi yang akan datang.
Jelas sekali bahwa masyarakat kelas bawah pun sekarang sudah pintar-pintar. Sudah pandai berhitung. Saya bangga sekali dengan hitungan itu: menguntungkan mana naik kendaraan umum atau naik sepeda motor.
Kalau naik kendaraan umum satu bulan bisa habis Rp 300 ribu. Angka itu sudah bisa untuk membayar uang muka membeli sepeda motor cicilan. Tinggal tambah sedikit.
Tiga tahun kemudian sepeda motor itu sudah menjadi miliknya.
Bandingkan kalau ia naik kendaraan umum. Tiga tahun kemudian pun ia masih akan naik kendaraan umum. Belum punya aset kendaraan pribadi.
Biaya naik kendaraan umum per bulan itu –yang nilainya sama dengan cicilan sepeda motor– membuat orang pilih mencicil sepeda motor.
Itu belum menghitung fleksibilitas sepeda motor. Memiliki sepeda motor sama dengan memiliki fleksibilitas bergerak. Ia bisa point to point. Tidak perlu berjalan dari rumah ke halte bus. Lalu juga tidak perlu jalan kaki dari halte bus ke tempat tujuan akhir. Demikian pun sebaliknya.
Fleksibilitas lainnya: bisa untuk dua orang. Kadang bisa sekalian dengan satu anak. Pun dua anak.
Saat pulang kerja, sepeda motor itu masih bisa dipakai mobilisasi. Sedang kalau naik kendaraan umum, pulang kerja tidak bisa ke mana-mana. Zaman sekarang tidak punya kendaraan seperti mati kutu.
Pun di hari libur. Yang naik kendaraan umum tidak punya kendaraan untuk ke mana pun.
Singkatnya, sepeda motor adalah angkutan yang sangat fleksibel dan terjangkau. Ia tidak hanya membeli aset tapi juga membeli fleksibilitas.
Karena itu pertambahan sepeda motor gila-gilaan: 8 juta setahun. Itu angka sebelum Covid-19. Perencana kota benar-benar harus memperhitungkan keberadaan sepeda motor yang kian dominan itu.
Tidak boleh ada kebijakan kota yang tidak memikirkan keberadaan sepeda motor. Ia bukan seperti becak di masa lalu: yang dianggap musuh pembangunan kota.
Sepeda motor adalah sarana kebangkitan kaum bawah. Sepeda motor telah membuat kalangan bawah punya kemampuan mengejar kalangan atas –setidaknya dalam kecepatan mobilisasi.
Dulu kalangan bawah hanya bisa jalan kaki, naik sepeda atau naik andong. Dengan cara itu bagaimana bisa kalangan bawah bersaing dengan kalangan atas.
Kini, kalangan bawah punya saran yang sama cepat dengan kalangan atas. Bahkan tidak jarang sepeda motor bisa lebih cepat dari mobil.
Sepeda motor adalah alat kebangkitan kalangan bawah. Hidup sepeda motor! (Dahlan Iskan)