Bupati Jawa
Kejutan di sekitar pemilihan presiden sebetulnya sangat menarik untuk dikulik. Apalagi setelah ada yang merasa dikhianati oleh Anies Rasyid Baswedan, bakal calon presiden dari Nasdem yang kemudian menggandeng Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Ini jelas kejutan. Banyak yang nggak menduga sebelumnya. Anies yang sudah lama “pacaran” dengan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono tiba-tiba “menikah” dengan orang lain. Atau harus “kawin paksa” dengan pilihan “orang tua” Ketum Nasdem Surya Paloh.
Maka wajar kalau kemudian Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono meradang. Merasa dikhianati oleh Anies dan partai koalisi lainnya. Sampai ia menjuluki mereka dengan sebutan musang berbulu domba. Menilai Anies tidak jujur juga.
Reaksi yang berbeda keluar dari Prabowo Subianto. Bakal calon presiden dari Gerindra yang sudah lama menjalin ‘’kasih’’ dengan Cak Imin –panggilan akrab Muhaimin Iskandar. Ia tak begitu meradang meski ditinggal “kawin” oleh Cak Imin setelah direngkuh Ketum Nasdem Surya Paloh.
Barangkali Prabowo woles ditinggal Cak Imin karena sudah punya pacar baru. Bahkan tak hanya satu. Langsung dua partai pemilik kursi di parlemen: PAN dan Golkar. Juga partai non parlemen yang selama ini dekat dengannya: PBB, Gelora, dan Garuda. Plus PSI.
Yang anteng justru PDI Perjuangan. Partai berlambang banteng moncong putih pengusung capres Ganjar Pranowo ini tak bingung cari partai lain karena bisa mengusung calonnya secara mandiri. Tinggal mencarikan pasangan Ganjar yang cocok dan bisa memenangkan pertarungan.
Tapi biarlah dinamika Capres itu berlangsung. Toh masih akan berlangsung tahun depan. Bulan Februari 2024. Saya ikut senang karena tiga dari calon presiden dan wakil presiden yang sudah dideklarasikan sesama alumni UGM. Mereka Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Bagi saya, kalau alumni UGM menjadi capres atau cawapres itu sudah biasa. Sebelumnya sudah menyumbangkan seorang wakil presiden Budiono. Ia menjadi wakilnya Presiden SBY. Setelah itu, UGM ‘’mewakafkan’’ seorang alumnusnya bernama Joko Widodo menjadi presiden dua periode.
Kalau tidak ada dinamika mengejutkan sampai dengan masa pendaftaran calon Oktober mendatang, selain Prabowo pilpres tahun depan bisa dibilang “All UGM-man”. Jika alumnus UGM yang terpilih, juga bisa dipastikan akan banyak menteri dari kampus ini. Seperti dua periode sekarang ini.
Karena itulah, bagi saya, pilpres kali ini kurang menarik. Justru yang asyik mempertanyakan siapakah kepala daerah di Jawa saat ini yang paling Jawa? Ternyata bukan di Jogja atau Solo yang memang dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa. Tapi di Jawa Timur. Tepatnya di Magetan.
Bupati yang ternyata juga lulusan UGM. Namanya Suprawoto. Dia sarjana Jurusan Pemerintahan –kini Departemen Politik Pemerintahan (DPP), Fisipol UGM. Bupati yang awal bulan ini juga habis masa jabatan periode pertamanya.
Menarik karena ia tergolong bupati yang unik. Seorang kepala daerah yang sangat Jawa. Bahkan satu-satunya kepala daerah yang masih piawai dan rajin menulis artikel maupun esai berbahasa Jawa. Sampai sekarang.
Malah, kebiasaannya menulis dalam bahasa Jawa itu sempat menorehkan penghargaan dari Rekor MURI. Ia dianggap satu-satunya orang kepala daerah yang masih rutin menulis di media massa dengan dua bahasa. Indonesia dan Jawa.
Jelang akhir masa jabatannya, ia menulis buku sebagai laporan pertanggungjawaban kepada rakyat. Buku itu berjudul Antuk Amanah Bupati Magetan, Dapat Amanah Bupati Magetan. Buku setebal 175 halaman itu ditulis sendiri di sela-sela kerjanya.
‘’Rikolo ana wektu kanggo nulis, sithik mboko sithik aku nyoba nulis. Kadang olehku nulis ono mobil, sepur, hotel. Kang mesthi kang paling okeh ya ngepasi ana omah. Kadhang olehku nulis nganti jam 02.00 parak esuk. Embuh yen wis asring nulis, wektu lumaku tanpo rinasa,’’ tulisnya.
Dia bilang menulis setiap ada waktu, Terkadang saat berada di mobil, KA, dan hotel. Tapi yang paling banyak ia menulis saat di rumah. Bahkan, saat menulis di rumah bisa sampai jam 02.00 pagi hari. Kalau sudah menulis, ia mengaku tak terasa.
Buku itu berisi tentang cerita bagaimana ia menjadi bupati. Juga apa saja yang telah dilakukannya selama mengemban bupati yang berada di lereng Gunung Lawu ini. ‘’Ini saya tulis sebagai laporan pertanggungjawaban saya kepada warga,’’ katanya.
Suprawoto beruntung. Setelah berkarier sebagai ASN sampai puncak –terakhir sebagai Dirjen dan Sekjen di Kementerian Kominfo– ia diminta menjadi Bupati Magetan. Sebelum menjadi orang pusat, ia menjadi Kepala Dinas Kominfo Jatim.
Tapi, jabatan itu juga garis tangan. Ada yang karena garis tangannya bisa menjabat sesuatu dengan amanah. Ada juga yang punya garis tangan tapi tidak amanah. Kalau bukan takdirnya, berjuang sekeras apa pun tak akan terpegang.
Rupanya takdir menjadi bupati sudah menjadi garisnya Suprawoto. Setelah pensiun dan menjalani hobinya sebagai pengajar, ia “dipaksa” para tokoh Magetan untuk menjadi kepala daerah. Dianggap orang yang punya visi dan bisa memajukan Magetan.
Datangnya “gatus tangan” itu juga tak terduga. Bermula dari reuni alumni SMAN Magetan yang kini menjadi SMAN 1 Magetan. Kebetulan banyak alumnus SMA itu yang menjadi orang besar di Jakarta. Salah satunya Ketua KPK (saat itu) Agus Rahardjo.
Suprawoto yang tadinya menolak tak bisa mengelak. Ia menjadi salah satu bupati yang tak perlu mengeluarkan modal besar. Bahkan urusan partai pengusung sudah diurus para tokoh besar Magetan di Jakarta. Ibaratnya, tinggal ngglundung semprong. Modal badan dan kemauan.
Ia hampir satu periode memimpin Magetan. Sayangnya, pandemi Covid-19 melanda begitu dilantik menjadi Bupati. Sehingga dua tahun harus berjibaku mengatasi pagebluk yang melanda seluruh dunia. Praktis, hanya tiga tahun ia punya waktu untuk memajukan daerahnya.
Tampaknya masih perlu satu periode lagi ia diberi kesempatan mewujudkan mimpi para tokoh Magetan yang telah sukses di ibukota. Menjadikan Magetan tidak ketinggalan. Bahkan lebih maju dari daerah di sekitarnya.
Kita butuh contoh orang baik sukses memimpin daerah. Bukan contoh orang ingin sukses menjadi kepala daerah tapi tak memikirkan daerahnya. Ini yang masih banyak sekarang. Sekadar merebut kuasa tapi tak tahu cara menjadikan kuasanya bermakna.