BUNI YANI diberitakan marah dan kaget saat hakim di Pengadilan Negeri Bandung yang mengadili perkaranya menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara bagi dirinya. Wajar Buni Yani kaget. Sebab ketika tahun lalu dia berhasil membongkar video yang dianggap menista agama Islam, Buni Yani bagaikan seorang aktifis dan advokat yang tak mungkin dijerat oleh hukum. Buni Yani tampil sebagai muslim sejati yang menjadi pahlawan pembela Islam. Dia tidak yakin ada penegak hukum yang berani menghukumnya. Menjelang akhir tahun 2016, saat dukungan padanya tak terhitung jumlahnya dan muncul di berbagai postingan media sosial – situasi yang tercipta adalah waktu dan alam sangat berpihak kepada Buni Yani. Sampai-sampai muncul opini, jika ada yang berani membawa Buni Yani ke pengadilan, maka yang membawanya itu yang justru akan akan diadili oleh masyarakat. Jutaan orang akan membentengi Buni Yani. Sebab pria berkaca mata tebal itu dinilai secara tepat dan lugas telah melakukan pembelaan terhadap Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Situasi mana kemudian menjadikan Buni Yani mungkin merasa semakin percaya diri bahwa secara hukum, dia berada di posisi yang tidak bersalah. Banyak kalangan yang ‘menumpang’ pada kepahlawanannya. Popularitas dan keberanian Buni Yani praktis hampir menyamai Habib Riziek Shihab, tokoh Front Pembela Islam (FPI). Dengan ketokohannya itu saya sebagai pemeluk Nasrani, tak berani berkomentar apalagi menghubunginya. Akibat sensitifitasnya soal perbedaan agama tahun lalu, walaupun kami sebetulnya bersahabat di sebuah grup WA bernama Peduli Negara Satu, saya langsung menjaga jarak. Sadar diri. Dan melihat perkembangan yang tidak kondusif, instink saya mengatakan, bahwa saya harus keluar dari grup WA dimana Buni Yani dan saya bergabung. Dari kejauhan saya ikuti pernyataan-pernyataan Buni Yani, bahwa dia sudah masuk dalam “lingkaran politik”. Dan saat itulah sejumlah kalangan menghubungi saya. Karena mereka melihat sebuah postingan foto di mana kami sama-sama sedang duduk dan menghadap sebuah meja makan dalam sebuah pertemuan. Kepada yang bertanya, saya jawab secara normatif. Tetapi kepada yang memvonis dan bias, saya luruskan. Karena saya sadar, saat itu apapun yang saya katakan tentang foto saya bersama Buni Yani, bisa ditafsirkan bermacam-macam. Bisa dikapitalisasi sesuai keinginan dan agenda yang mau melakukan kapitalisasi. Walaupun dalam foto itu, bukan hanya kami berdua, tetapi ada saja yang mencoba mengait-ngaitkan hubungan saya dengan Buni Yani. Terutama kalau saya menulis artikel “Catatan Tengah”. Dalam foto tersebut antara lain terdapat Taufiqurachman Ruki, mantan Ketua KPK, Lily Wahid, adik Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang keduanya juga anggota WA Peduli Negara Satu. Foto itu dijepret saat kami makan di rumah makan Manado “Rarampa”. Karena Pak TR, panggilan akrab kami bagi bekas Ketua KPK itu – yang mentraktir kami, minta saya sebagai orang Indonesia asal Manado, untuk mencarikan resto yang menyajikan makanan khas Manado. Selama protes tentang Ahok yang berkaitan dengan video “editan” Buni Yani menghangat, foto keberadaan saya dengan Buni Yani, menjadi sorotan dari beberapa sahabat. Tapi saya memilih untuk tidak reaktif. Sewaktu ketokohan dan kepahlawann Buni Yani semakin memuncak, beberapa kalangan berusaha menggali informasi tentang Buni Yani dari saya. Namun saya tetap tidak reaktif apalagi menulis. Lagi pula pengenalan dan pekenalan saya dengan Buni Yani hanya di WA grup tersebut. Lantas mengapa sekarang saya berubah ? Bahkan menulis……… Yah alasannya sederhana dan manusiawi saja. Saya iba, kasihan dengan Buni Yani. Karena dari percakapan-percakapan ringan kami – manakala jedah di pertemuan WA Peduli Negara Satu, Buni Yani merupakan orang bersahaja yang sedang berupaya memperbaiki tingkat penghidupan ekonominya. Secara sosio-psikilogis, kondisi finansialnya tidak banyak beda dengan saya. Yang tidak sama, dia sedang mencari dan mencari termasuk jaringan dan eksistensi, sedangkan kalau saya, sudah sudah melewati masa pencarian. Saya iba dengannya. Sebab saya tahu dia masih punya tanggungan, isteri dan anak-anak. Isterinya tidak bekerja smentara anak-anaknha butuh sekolah. Dan tentu saja mereka butuh makan dan lain-lain. Sementara gelar doktornya belum berhasil diraih. Artinya, modal dan senjatanya untuk menghidupi keluarganya praktis tidak cukup. Lantas dengan pemenjaraannya selama 14 tahun, apa yang akan terjadi pada isteri dan anak-anaknya ke depan? Dari kacamata sepihak saya, Buni Yani sebetulnya bergabung dengan kami di WA Peduli Negara Satu, karena ajakan. Dia tertarik karena melihat di dalam grup itu dia bisa membangun jaringan. Sambil berharap dari jaringan itu dia mungkin bisa mendapatkan pekerjaan tetap atau sambilan. Tapi hasilnya tidak demikian. Jaringan dan penghasilan belum dia dapatkan, dia sudah berurusan dengan persoalan hukum. Saya terpanggil menulis tentang Buni Yani, sekali lagi karena alasan kemanusiaan. Sebab secara subyektif saya menilai Buni Yani menjadi korban dari orang-orang berkepribadian munafik dan pengecut. Mereka, para munafikun dan pengecutin inilah yang MUNGKIN memanas-manasi atau memprovokasi Buni Yani. Sehingga Buni Yani tertarik memviralkan video yang akhirnya membawanya ke meja hijau. Dia sendiri mungkin menyesal, mengapa tidak sedari awal dia menyebut siapa orang yang memprovokasinya sehingga tertarik memviralkn video berisi SARA tersebut. Mungkin karena iapun ingin eksis dan butuh pengakuan. Apalagi ketika awal-awall video itu diviralkan, Buni Yani mendadak sontak menjadi tokoh sentral di dunia maya. Lalu setelah sadar bahwa dia cuma terprovokasi, sayangnya dia sudah lupa siapa saja yang memprovokasinya. Apa alasan saya berkesimpulan demikian ? Karena dari sikap Buni Yani di pertemuan-pertemuan grup WA - semoga saya tidak keliru, dia di mata saya bukanlah sosok yang agresif, pemberani atau yang suka menantang orang yang menjual keberanian. Dia bukan pendebat seperti saya yang akan ikut menggebrak meja kalau ada yang berani mendahului. Nah yang menjadi masalah, setelah Buni Yani terprovokasi, yang memprovokasinya, tidak berani tampil lagi. Ironisnya bertambah. Ketika Buni Yani menghadapi masalah besar seperti sekarang. Yang memprovokasinya semakin menyembunyikan diri. Karena provokator itu memang masuk kategori yang berkepribadian munafik dan pengecut. Bersembunyi !. Entah bersembunyi di bawah pohon tomat atau pohon kangkung. Pokoknya kalau provokatornya lebih dari satu, mereka tiarap dan terus tiarap apalagi mendengar Buni Yani dijatuhi vonis hukuman yang cukup berat. Saya juga tergerak menulis potongan kisah Buni Yani, karena kejadian ini semakin memperkuat persepsi saya bahwa budaya sebagian besar politikus kita, memang parah. Buni Yani merupakan korban politik dari mereka, politikus yang hanya mau memanfaatkan orang lain, untuk kepentingan diri sendiri atau golongan tertentu. Sebagai wartawan saya cukup memiliki catatan dan pengalaman banyak bertemu dengan para politikus yang kelakuan mereka mirip-miirp penipu, pembohong, pengecut dan oportunis. Salah satu contohnya ketika tahun 1987, harian “Priroritas” tempat saya bekerja, dibreidel oleh penguasa, cq Menteri Penerangan Harmoko. Dengan pembreidelan itu, otomatis saya menjadi penganggur atau ‘jobless’. Belum seminggu, status ‘jobless’ saya muncul, semua relasi, khususnya para politisi di zaman itu, langsung menghindar jika saya hubungi melalui telepon. Seolah-olah saya mau minta pertolongan atau mau minta pinjaman duit. Tapi sebaliknya beberapa tahun kemudian ketika saya punya posisi lagi di Harian “Media Indonesia” atau “RCTI”, prilaku para politikus itu, berbeda lagi. Hadew…… Kalau bukan ngajak makan, bahkan untuk makan siang saja nawari pergi pagi pulang sore ke Singapura. Saya menduga kondisi Buni Yani juga kurang lebih sama. Semua politikus yang dulu menempaatkannya sebagai seorang ‘sahabat’, bahkan pahlawan, kini sudah menjauh atau balik badan. Mungkin tak ada yang mempedulikannya lagi. DULU Buni Yani dibutuhkan, sekarang tidak. Inilah sebuah tragedi atau sebuah balada yang menerpa seorang Buni Yani. Kepada Buni Yani saya tidak bisa bilang apa-apa lagi. Namun khusus untuk keluarga – isteri dan anak-anaknya, saya berdoa dan berharap semoga mereka tetap diberi kecukupan makan dan kesehatan, dan perlindungan. Saya percaya akan kekuatan doa – The Power of Prayer. Tuhan Allah pasti akan selalu menyertai isteri dan anak-anak Buni Yani. Amin. *) Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta