Bumi Manusia
Saya sempat terkecoh dengan sebuah resensi yang mengatakan Bumi Manusia adalah film untuk kaum muda yang sedang jatuh cinta. Pemeran Minke adalah Iqbaal Ramadhan yang sebelumnya memerankan sosok Dilan yang menjadi rujukan mutakhir roman kaum muda. Klop sudah: resensi itu mendakwa Bumi Manusia kelewat mengedepankan kisah cinta Minke dan Annelies ketimbang bertutur tentang penggalan sejarah sosial pada masa kolonial.
Tapi rasa penasaran saya jauh lebih pekat dan mengalahkan cegatan hitam resensi itu. Bagaimana novel cemerlang Pramudya Ananta Toer itu diterjemahkan ke format gambar bergerak?
Seraya melangkah ke gedung bioskop, saya bertanya-tanya bagaimana karakter perkasa Nyai Ontosoroh divisualisasikan ke dalam film. Saya membayangkan pula, bagaimana Minke yang culun tapi heroik dalam novel dilukiskan di berbagai adegan layar lebar. Ditambah lagi, bagaimana cara Hanung Bramantyo, sang sutradara, menggambarkan sekat sosial kolonial yang hirarkis itu secara visual ke film. Saya teringat sejumlah bagian novel yang merampas emosi saya, saat saya membacanya di bordes kereta ekonomi menuju Jombang di pertengahan tahun 1980an.
Agar adil, resensi itu sebenarnya separo benar. Sejak awal, ketika Suurhorf mengajak Minke mengunjungi Robert Mellema di rumahnya, perkara pokoknya adalah perkara cinta. Suurhorf memendam cinta ke Annelies, adik Robert Mellema, anak dari tuan perkebunan luas Herman Mellema yang mengambil Sanikem menjadi gundiknya – yang kelak dikenal sebagai Nyai Ontosoroh. Alih-alih memilih Suurhorf, Annelies justru menjatuhkan pilihan pada Minke.
Tapi cinta di masa kolonial adalah jalan sengsara menembus sekat-sekat sosial, jika lelakinya adalah seorang pribumi, dan yang diinginkannya adalah seorang nonik keturunan atau Belanda totok. Robert Mellema, kakak Annelies, tak menyukai pribumi dan memilih garis Belanda seraya menghapus darah pribumi dari ibunya, Nyai Ontosoroh. Ia memandang rendah status Minke, dan menolaknya untuk duduk bersama semeja.
Tinggal di kediaman dan bermertua seorang nyai, Minke setiap kali harus menelan cibiran para tetangga, petani kampung serta lingkarannya di HBS dan kota. Nyai di mata mereka tak lebih dari gundik yang melayani tuan Belanda. Bermertua seorang nyai yang berkasta rendah tak cocok pula dengan status sosial domestik Minke yang priyayi, anak seorang bupati.
Tapi tafsiran Hanung Bramantyo atas Bumi Manusia tidak meminggirkan kekuatan gagasan dan kemampuan Pramudya Ananta Toer menggetarkan pembacanya melalui penggalan-penggalan cerita di halaman novelnya saat melukiskan diskriminasi sosial berbasis ras di era kolonial. Di bagian akhir, film itu menggambarkan keputusan pengadilan kolonial yang tak mengakui lembaga pernikahan lokal. Pernikahan Minke-Annelies tak tercatat dalam hukum dan birokrasi sipil kolonial. Akibatnya, pengadilan kolonial merampas Annelies dari tangan Minke dan menyerahkan perwaliannya ke keluarga Mellema di Belanda.
Imperium bisnis Buitenzorg yang dibangun dan dibesarkan Nyai Ontosoroh tidak diakui sebagai milik sang nyai karena ikatan perkawinannya dengan Herman Mellema tak diakui sah oleh pengadilan kolonial itu. Pengadilan itu akhirnya memerintahkan penyerahan harta karun itu ke keluarga Mellema di Belanda.
Di dua perkara itulah karakter kuat Nyai Ontosoroh tergambar di film. Sang nyai, jengkal demi jengkal bertempur di arena pengadilan. B
Karakter perkasa Nyai Ontosoroh tervisualisasikan dalam dagu kokoh dan pundak datar Ine Febrianti dengan vibrasi vokal yang bergetar. Ia memayungi Minke yang bersamanya melakukan perlawanan terhadap kesewenangan pengadilan kolonial melalui tulisan-tulisan pembelaannya yang cemerlang dan disebarkan lewat koran-koran di tanah koloni.
Di titik itu sedikit terasa bahwa medium visual tak sepenuhnya bisa menggambarkan kecemerlangan tulisan-tulisan Minke. Tak seperti di novel yang berbasis teks, tulisan Minke hanya tervisualisasikan dari mesin ketik, putaran silinder percetakan, dan serakan koran.
Di atas kekurangan kecil itu, film panjang Hanung mampu menjalin dan melukiskan secara visual novel Pramudya untuk isu-isu abstrak seperti sekat dan segregasi sosial, diskriminasi rasial, dan gagasan tentang keadilan. Tapi durasi tiga jam film itu rupanya masih belum cukup bagi Hanung Bramantyo untuk menyelesaikan sejumlah sub-plot. Sampai akhir cerita, motif pemilik kedai candu yang merangkap rumah bordil untuk meracun Herman Mellema tak jernih amat. Demikian juga, Robert Mellema yang rasis tak tergambar ujung nasibnya.
Tapi, tak rugi duduk selama tiga jam menikmati tafsiran Hanung Bramantyo atas novel Pramudya itu. Ongkos tigapuluh milyar itu termanfaatkan dengan baik untuk sebuah tafsiran visual, yang memerlukan pembangunan sebuah rumah bercorak mooi indie, menjahit kostum pernikahan Annelies yang bergaya Victoria dengan topi berbeban bunga, serta membangun sendiri rel dan lokomotif berbahan bakar kayu.
Beberapa humor kecil yang menyelinap di sejumlah scenes ketika Nyai Ontosoroh meminta Minke memeragakan ulang ciuman pertama Minke ke pipi Annelies mengundang senyum dan tawa pengunjung bioskop. Tapi Hanung Bramantyo tak memerosotkan Bumi Manusia menjadi sekadar cerita cinta kaum muda.
*) Dr Dodi Ambardi adalah dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM