Bule Skotlandia yang Berjuang di Pertempuran Surabaya, Inilah Sosok K'tut Tantri
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menyimpan banyak kisah heroik yang tidak banyak diketahui mayoritas masyarakat tanah air. Dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, mungkin masyarakat hanya mengenal nama-nama yang merupakan sosok tersohor.
Seperti dari militer. Ada Bung Tomo, Mayjen Sungkono, M. Jasin, Prof. Dr. Moestopo, dam HR Muhammad yang nama-nama mereka telah diabadikan sebagai jalan di Kota Surabaya. Namun, ada salah satu sosok yang berperan sentral dalam front pertempuran Arek-Arek Suroboyo melawan pasukan tentara Sekutu tersebut adalah K'tut Tantri.
Wanita kelahiran 19 Februari 1898, di Glasgow, Skotlandia tersebut ternyata rajin mendampingi Soetomo atau yang lebih dikenal dengan panggilan Bung Tomo itu dalam menyampaikan orasi-orasinya yang terkenal berapi-api.
Pegiat sejarah Surabaya, Nur Setiawan, mengungkapkan, K'tut Tantri memiliki peran yang sangat vital dalam menyebarluaskan pesan kemerdekaan perjuangan Indonesia saat menjalani revolusi fisik kepada antar negara dan antar bangsa. Dirinya merupakan aktor penting dalam menerjemahkan orasi-orasi Bung Tomo ke dalam bahasa Inggris.
Julukan "Surabaya Sue" atau penggugat dari Surabaya pun kemudian diberikan kepada Bung Tomo karena gencarnya ia untuk mengejawantahkan segenap orasi-orasi perjuangan Bung Tomo dan laporan pertempuran di Palagan Surabaya lewat corong radio, yakni lewat kanal internasional 'Voice of Free Indonesia', yang berada di bawah naungan radio pemerintah Sukarno-Hatta, Radio Republik Indonesia (RRI).
“Penyebarluasan orasi itu penting agar pesan perjuangan kemerdekaan Indonesia dapat dipahami oleh orang asing, termasuk pasukan Sekutu dan dunia internasional, bahwa Republik Indonesia menolak segala bentuk penjajahan baru yang hendak dilakukan oleh pihak Sekutu, khususnya Belanda,” ungkapnya.
Pria yang akrab disapa Mas Wawan itu juga menjelaskan, K'tut Tantri ternyata memiliki nama asli Muriel Stuart Walker. Nama K'tut Tantri diberikan oleh keluarga Kerajaan Klungkung di Bali karena sosok yang banyak membantu perjuangan kemerdekaan.
Keterlibatannya dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia saat itu juga sempat menimbulkan kecurigaan, khususnya dari pihak Republik karena latar belakangnya.
“Ktut Tantri sempat dicurigai sebagai mata-mata asing yang disusupkan ke pihak Republik. Namun, hingga saat ini, kecurigaan tersebut sama sekali tidak terbukti,” ucapnya.
Hal itu, menurut Wawan, membuktikan bahwa Palagan Pertempuran Surabaya 1945 adalah sebuah perang semesta, yang tentunya melibatkan seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang, baik mereka menyebut pribumi maupun orang asing yang memiliki kepedulian terhadap kemerdekaan Indonesia.
“Muriel Stuart Tantri alias K'tut Tantri adalah contoh bagaimana orang asing pun ternyata ada yang menaruh hati dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” tegasnya.
Meski dirinya memiliki kontribusi besar di masa revolusi fisik, Wawan menjelaskan, K'tut Tantri sampai saat ini belum diakui sebagai pahlawan nasional.
Wawan menjelaskan, belum diangkatnya K'tut Tantri sebagai pahlawan nasional ternyata terkait dengan status kewarganegaraannya. Diketahui, Ktut Tantri belum menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) sampai ajal menjemputnya pada 27 Juli 1997 di Sydney, Australia.
“Meski demikian, nama beliau tetap tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa meskipun namanya jarang didengar,” paparnya.
Nur Setiawan menegaskan bahwa meski Ktut Tantri tidak mendapat gelar pahlawan secara formal, perannya dalam mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak bisa diabaikan.
“Bahwa kontribusi K'tut Tantri menjadi bukti nyata bahwa perjuangan Indonesia untuk merdeka mendapatkan perhatian dan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk warga asing yang simpati terhadap cita-cita bangsa ini,” tutupnya.