"Nanti itulah yang kemudian dikategorikann sebagai organisasi radikal. Jadi sebetulnya, kata radikal itu dalam konteks melawan penjajah kolonial," imbuhnya. Mantan Rektor UMM ini menambahkan ketika buku itu disusun, kata radikal masih belum menjadi kata pejoratif. Namun saat ini kata radikal menjadi kata sensitif. "Kalau menurut ilmu bahasa itu kata amelioratif yang punya rasa baik. Sekarang ini kan jadi negatif radikal itu. Ketika diajarkan kepada anak-anak bisa keluar konteks, bahkan bisa sebaliknya," terangnya. "Karena itu saya mengapresiasi ada guru yang kritis menyampaikan kepada saya langsung tentang itu. Karena mereka tahu persis bagaimana suanana di lapangan kan. Karena itu saya respon, saya undang mereka yang terkait," tambahnya. Pria kelahiran Madiun ini menjelaskan sudah ada kesepakatan dengan Kemendikbud untuk merevisi buku tersebut secepatnya. Hard copy buku tersebut pun dalam waktu dekat bakal ditarik dari sekolah-sekolah. Seperti diketahui, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) segera menarik peredaran buku pelajaran tematik terpadu kurikulum 2013 tema 7 untuk kelas V Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) berjudul “Peristiwa dalam Kehidupan”. Makna radikal tersebut, menurut Masduki Baidlowi, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kurang tepat dan dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat. Baidlowi mengungkapkan, bahwa tujuan pertemuan NU dengan Kemendikbud adalah untuk melakukan klarifikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berlarut tersebut di masyarakat.