Bukan Mengecilkan Volume Syiar
SAYA yakin Menteri Agama Gus Yaqut sudah memperhitungkan, surat edaran yang berisi kebijakan mengecilkan volume toa di masjid dan musala yang dibuatnya itu bakal memicu ikhtilaf. Gus Menteri itu pasti paham betul, kebijakannya itu melawan tradisi nyaring-nyaringan speker yang selama ini berlaku di tengah jamaah Gus Menteri sendiri. Jamaah Nahdliyin. Gus Menteri pasti juga sudah memperkirakan, nanti akan muncul tuduhan, bahwa kebijakannya itu untuk “menyenangkan orang lain, meski harus menyakiti keluarganya sendiri”.
Tapi sang Gus Men jalan terus. Langkahnya tetap tegap. Layaknya nakhoda sejati yang tidak akan pernah surut hanya lantaran cuaca yang tak bersahabat. Sebab keyakinannya sudah mantap. Untuk mewujudkan ketentraman di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, diperlukan kebesaran jiwa semua warganya untuk bersikap tepa salira. Saling menghargai sesama. Saling menjaga ketentraman bersama.
Bukankah Nabi Muhammad ﷺ pernah merelakan untuk mengganti kata “Rasulullah” dengan “Ibnu Abdillah” pada naskah Perjanjian Hudaibiyah, untuk memenuhi permintaan kaum kuffar Mekkah, sekalipun hal itu jelas-jelas tidak disukai oleh para sahabat Nabi sendiri. Ketika itu, Rasulullah lebih mendahulukan substansi daripada simbol, untuk mencapai tujuan bersama, yakni menghentikan pertikaian, lalu hidup bersama secara damai dan harmoni.
Toh apa yang dilakukan Gus Men itu hanya ingin memberikan pedoman penggunaan pengeras suara (toa) di masjid dan musala, sebagaimana judul surat edaran (SE) bernomor 05 Tahun2022 itu. Sama sekali tidak ada larangan azan, qiraat, selawat, dan sebagainya dengan menggunakan toa. Pun tidak ada sanksi jika aturan itu dilanggar. Sebab, SE itu sendiri memang hanya berisi “pedoman”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata pedoman adalah kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan. Arti lainnya adalah hal (pokok) yang menjadi dasar (pegangan, petunjuk, dan sebagainya) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.
Jadi, ketentuan-ketentuan di dalam SE itu sebenarnya sangatlah longgar. Apalagi kedudukan SE di dalam tata hukum di Indonesia berada di luar hirarki peraturan perundang-undangan. Silakan periksa UU 12/2011 dan revisinya, yaitu UU 15/2019. Meski begitu, SE tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dalam sistem administrasi pemerintahan kita, SE diakui sebagai salah satu bentuk naskah dinas di lingkungan pemerintah. Yakni naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.
Saya haqqul yaqin, Gus Men dengan sengaja memilih SE yang soft sebagai instrumen kebijakannya, dan bukan Instruksi Menteri atau Peraturan Menteri yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan daya paksa yang kuat. Karena yang dikehendaki oleh Gus Men bukan untuk memaksa, melainkan untuk mendidik segenap warga bangsa, dan untuk membangun suatu kesadaran baru tentang pentingnya hidup bersama secara harmonis —tentu dengan segala konsekuensinya.
Jadi penerbitan SE yang berisi ajakan untuk mengecilkan volume toa itu hendaknya dipahami sebagai upaya rekayasa sosial (social engeneering) untuk mendorong suatu proses transformasi sosial ke arah masyarakat yang lebih inklusif dan toleran; dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengecilkan volume syiar. Wallahu a’lam.
*) Amin Said Husni adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Advertisement