Bukan Caviar Melainkan Unagi, Sama-Sama Mahal dan Bernilai Dolar
Makanlah Caviar. Sesekali. Atau sekali seumur hidup. Sekadar untuk tahu: mengapa Amerika menyasar Caviar dalam perang dagangnya dengan Tiongkok. Sekarang ini. Di Jakarta hanya ada tujuh restoran yang menawarkan Caviar. Dalam menu mereka. Misalnya resto Jepang Oku, yang di gedung The Plaza. Di jalan Thamrin itu. Atau resto Jepang yang di Kempinski. Harganya tidak mahal. Untuk ukuran Donald Trump: Rp 2 juta/100 gram. Atau Rp 20 juta/kg.
Ini pembukaan tulisan yang amat keren. Tulisan Dahlan Iskan. Mantan CEO Jawa Pos Grup itu. Dia menulis Caviar untuk menggambarkan perang dagang Amerika dengan China. Luar biasa. Tema sebesar itu hanya digeret dari ikan. Namanya Caviar itu. Mau tahu lanjutnya, coba ikuti tulisan Dahlan Iskan di ngopibareng.id.
Caviar yang ditulis Dahlan Iskan serupa tapi tak sama dengan Sidat di Indonesia. Hanya saja, kalau Caviar menjadi bagian dari perang dagang AS vs China, sementara Sidat tak pernah memicu apa-apa dalam percaturan perdagangan ikan dunia. Hanya kalau Sidat habis, Jepang memerlukan waktu sebentar untuk gigit jari.
Tinggalkan Caviar, mari bicara Sidat. Eh iya: pernah melihat Ikan Caviar? Tentu belum! Tentu hanya melihat gambar saja. Gambar yang resolusinya tak begitu bagus, mungkin. Pernah melihat Sidat? Mungkin juga sama dengan Caviar. Pernah melihat, tapi hanya gambar.
Bicara Sidat sederhananya begini: pernah melihat ular? Tentu pernah. Berjumpa langsung dengan ular? Nah ini yang belum tentu. Kalau berjumpa dengan gambar, sesekali lewat tayangan televisi, atau melihat pameran peliharaan para hobis binatang melata di mall-mall itu dimungkinkan pernah.
Itu ular. Bukan Sidat. Sekali lagi, tahu sidat? Mungkin tahu, tapi belum pernah melihat. Pernah mendengar tapi entah dimana! Atau malah blas, alias sama sekali tidak pernah tahu dan mendengar. Atau, jangan-jangan, pernah memakan dagingnya yang harganya bisa ratusan ribu rupiah untuk satu porsi makan.
Bagi yang sudah tahu, syukurlah. Meski mungkin belum pernah melihat secara langsung bentuk fisiknya. Bagi yang blass tadi itu juga tidak apa-apa, karena sidat memang salah satu jenis ikan paling unik di dunia. Publikasinya kendati tak kurang dari 6500 artikel sudah ditulis, belum dianggap mewakili keunikan sidat yang sesungguhnya.
Sidat acap kali disebut ikan ular. Fisiknya benar-benar menyerupai ular. Tetapi dia bukan belut, kendati tak sedikit yang menyamakan sidat sebagai belut. Ciri senyatanya adalah belut hidup dilumpur berikut kembang biaknya. Sedangkan sidat tidak memerlukan lumpur sama sekali, hidup di air tawar yang mengalir hingga tiba waktunya bertelur dan masuk ke laut dalam antara 300-500 meter ke bawah. Setelah telur menetas di laut sidat kemudian bermigrasi mencapai sungai-sungai yang berair tawar.
Nah, Indonesia adalah satu surga bagi ikan sidat dunia. Selain memiliki potensi wisata, ikan ini juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Sayangnya, jenis ikan yang menyerupai ular ini kehidupannya justru makin terdesak.
Penyebabnya adalah permintaan pasar ekspor yang tinggi. Permintaan ini memicu aktivitas penangkapan ikan sidat yang tidak terkontrol di berbagai daerah di Indonesia. Penangkapan ikan sidat tanpa mengindahkan kelangsungan hidupnya akan menyebabkan kepunahan spesies ini. Tidak menutup kemungkinan dalam satu dekade mendatang ikan sidat tropis akan mengalami penurunan populasi alamiahnya.
Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Zainal Arifin, dalam berbagai kesempatan mengatakan, populasi ikan sidat atlantik jenis A. anguilla dan A. rostrata, serta ikan sidat pacific bernama A. Japonica sudah siap masuk daftar CITES. Itu artinya, ikan tersebut sudah tidak bisa lagi dieksploitasi karena jumlah populasinya yang tinggal sedikit.
Indonesia saat ini terkenal sebagai pusat keragaman, distribusi, dan kelimpahan ikan sidat di dunia. Permintaan ekspor dunia yang tinggi terhadap ikan ini otomatis meningkatkan nilai Sidat. Apalagi dengan adanya penurunan stok alamiah spesies ikan sidat, Anguilla japonica , di wilayah Asia Timur, membuat negara-negara di kawasan tersebut termasuk Jepang, Korea, Taiwan, China, dan Hongkong berlomba untuk mendapatkan suplai ikan sidat dari Indonesia.
Peningkatan permintaan sidat terhadap konsumsi dunia ini tidak sebanding dengan jumlah populasinya. Pengeksploitasiannya yang berlebihan di berbagai kawasan di Indonesia dikhawatirkan akan memicu penurunan populasinya secara drastis.
Seperti menjawab tantangan itu, satu dekade terakhir, budidaya ikan sidat tropis genus anguilla menjadi lahan basah yang saat ini populer di kalangan para pengusaha budidaya sidat. Dagingnya memiliki tekstur dan cita rasa yang enak serta kandungan nutrisi yang tinggi dibanding ikan lainnya. Beberapa organ dan jaringan tubuhnya juga diyakini memiliki kandungan senyawa yang penting sebagai functional food untuk bahan baku obat, suplemen, dan bahkan kosmetik.
Technopark Sidat
Cukup lama diketahui denyut Kabupaten Banyuwangi terus menggeliat. Sektor pariwisatanya tancap gas untuk menyusul daerah tetangganya, Bali. Di luar sektor tersebut, ternyata perkembangan ikan air tawar yang menyerupai ular ini, di wilayah Banyuwangi juga terus menggeliat.
Geliat ini membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan Kabupaten Banyuwangi sebagai Technopark Budi Daya Sidat Indonesia. Banyuwangi dijadikan sebagai proyek percontohan bagi taman teknologi atau technopark itu sekaligus pelatihan dan budi daya sidat secara nasional.
Technopark merupakan program pembangunan kawasan pengembangan teknologi dan inovasi. Kementrian KP akan mengembangkan technopark yang memiliki fungsi sebagai tempat pendidikan dan pelatihan para nelayan perikanan tangkap maupun perikanan budi daya yang berpotensi mendorong pengembangan bisnis baru.
Saat penetapan technopark sidat yang dikembangkan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Banyuwangi ini dihadiri oleh Sekretaris Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan, saat itu, Dr Rina, Msi. Rina sekaligus menjadi nara sumber dalam dialog dengan pemangku kepentingan kelautan dan perikanan,.
Dia mengatakan, Banyuwangi menjadi inkubator sidat pertama di Indonesia. Banyuwangi akan menjadi kawasan untuk belajar teknologi budi daya sidat. Masyarakat yang tertarik bisa belajar bersama atau jika punya teknologi yang lebih baru tentang sidat bisa dibagi dan ditularkan di tempat ini. BPPP Banyuwangi akan menjadi tempat pembesaran sidat atau inkubasi yang memiliki fasilitas lengkap, mulai kolam hingga teknologi pembesaran yang dibimbing oleh ahli budi daya keluatan dan perikanan.
Banyuwangi terpilih karena secara alami kualitas air baku di Banyuwangi cocok untuk budi daya perikanan, termasuk sidat. Di Jakarta, kualitas air per 25 miligram sampel terdapat 550 ribu koloni bakteri. Adapun di Banyuwangi dengan sampel yang sama, hanya mengandung 10 ribu koloni bakteri. Amat sehat, dan untuk pengembangan sidat bagus sekali. Sebab itu memilih Banyuwangi menjadi pusat pengembangan sidat.
Budi daya sidat saat ini memiliki prospek yang bagus lantaran pasar sidat internasional terbuka lebar. Sidat menjadi primadona di sejumlah negara karena kandungan protein dan gizinya yang tinggi dan tidak dimiliki jenis ikan lain. Sidat makanan yang paling digemari di sejumlah negara, terutama Jepang.
Produksi sidat Banyuwangi mencapai 147 ton per tahun, sementara permintaan dari daerah atau pun negara lain masih tinggi. Bukan hanya Jepang, namun permintaan sudah merambah ke Korea, bahkan Arab. Penetapan technopark di Banyuwangi memungkinkan kelompok-kelompok tani tumbuh kembang dan besar sekaligus menjadi aset Provinsi Jawa Timur.
Masih belum adanya teknologi yang bisa menghasilkan bibit sidat, membuat ikan yang berbentuk seperti ular ini mempunyai siklus hidup yang unik. Untuk bibit masih tergantung pada tangkapan alam, karena sidat betelur di wilayah laut dan besar di air tawar.
Pembudidaya sidat, Daniel Amrullah (50), di wilayah Desa Parijatah Kulon, Kecamatan Srono, mengaku, selama ini ia mendapatkan bibit Sidat masih dari luar Banyuwangi. Biasanya memesan bibit dari Mentawai, Cilacap, Pelabuhan Ratu, dan Lampung. Jangankan di Banyuwangi, di Jepang sendiri masih belum ada ilmu tekhnologi untuk pembibitan Sidat. Jadi, Daniel hanya melakukan pembesaran.
Menurut Daniel, dia menggunakan bibit dengan ukuran finger dengan isi per kilo sekitar 5.000 sampai 7.000 ekor. Per 1 kilogram ukuran finger dalam waktu 8 bulan akan menghasilkan kurang lebih 1,25 ton sidat dengan harga jual sekitar Rp 150.000 per kilogram. Kenapa 8 bulan? karena di usia tersebut ukuran sidat antara 3 ons sampai 6 ons dan siap dikonsumsi.
Tapi Sidat mempunyai golden size antara 2,5 ons hingga 3,5 ons. Ukuran itu yang sering dicari restoran-restoran Jepang sebagai bahan makanan yang disebut Unagi. Tapi kalau dibiarkan Sidat bisa besar sampai ukuran 3 meter bentuknya seperti ular.
Sidat yang dibudidayakan oleh Daniel banyak di jual ke Bandung, Jakarta, Surabaya dan Bali. Ada juga yang di ekspor, tapi untuk memenuhi permintaan dalam negeri saja sebenarnya sudah kewalahan. Jadi berapa pun banyaknya sidat selalu laku.
Untuk tempat pembesaran, Daniel memanfaatkan sungai yang dialirkan ke kolam-kolam kecil di belakang rumahnya. Air untuk Sidat harus mengalir, agar sidatnya bergerak dan banyak makan, sebab kalau airnya diam maka Sidat akan malas makan, dan sisa pakan yang tidak termakan akan menghasilkan racun untuk sidat.
Daniel mengaku untuk bahan pakan dia melakukan riset sendiri dengan mencampur tepung ikan, dedak halus, tepung jagung, tapioka, dan rumput laut hingga berbentuk seperti pasta. Normalnya makanan yang diberikan lima persen dari berat Sidat, tapi sengaja saya tambah menjadi 7,5 persen agar cepat panen tapi tentu dengan memperkuat aliran sungai, karena sidat akan bergerak lebih cepat.
Budidaya sidat di Banyuwangi akan terus berkembang pesat karena Sidat menjadi salah satu hidangan utama yang terpopuler di Jepang. Selain Unagi ada juga Unadon, sidat bakar yang disajikan di atas nasi. Sedangkan sidat sendiri di Jepang sudah menjadi ikan langka dan hanya 30 persen sidat dari Jepang sendiri yang digunakan sisanya yang ekspor salah satunya dari wilayah Banyuwangi. widikamidi
Advertisement