Budaya Nusantara Harmonis, Kiai Pesantren Ambil Spirit Walisongo
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengungkapkan, setiap bangsa di dunia, masing-masing memiliki keunikan tersendiri sehingga harus saling menghargai satu sama lain. Karenanya, Walisongo hadir mengharmoniskan kebudayaan Nusantara dengan Islam sebagai agama. Mereka tidak malah merendahkan dan menyampingkan budaya.
“Bukan hanya dihormati tapi jadi infrastruktur agama. Budaya kita bela agar lestari, agamanya kita dakwahkan. Islam memperkuat dan mengisi spirit budaya,” jelas kiai yang menamatkan studi di Universitas Ummul Qura, Makkah, Arab Saudi, dalam keterangan Selasa, 31 Agustus 2021.
Kiai Said mencontohkan beduk yang dahulu merupakan alat musik tari-tarian, saat ini dijadikan sebagai penanda masuknya waktu salat.
“Dilestarikan untuk tanda masuk shalat diletakkan di masjid. Artinya, produk budaya bangsa tidak dibuang. Tapi dilestarikan, dipelihara. Dijadikan infrastruktur agama tanda waktu salat,” katanya.
Hal itu dikatakan Kiai Said Aqil Siroj saat membuka secara resmi Simposium Internasional Kosmopolitanisme Islam Nusantara pada Senin 30 Agustus 2021.
Kegiatan ini diselenggarakan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek).
Memperkuat Argumen Akademis
Dalam kesempatan tersebut, Kiai Said menyampaikan bahwa simposium ini merupakan kegiatan penting guna memperkuat argumentasi akademis mengenai Islam Nusantara.
Sebagaimana diketahui, frasa tersebut merupakan sebuah wacana yang diinisiasi NU sebagai tema besar pada Muktamar Ke-33 NU tahun 2015.
“Kami sudah mempersiapkan konseptual Islam Nusantara,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan itu.
Rektor UNUSIA
Senada dengan Kiai Said, Rektor Unusia Maksoem Machfoedz menyampaikan bahwa Islam Nusantara sangat mengapresiasi lokalitas dan budaya sebagai modal untuk membangun bangsa.
Tak berbeda dengan keduanya, Wakil Rektor Universitas Indonesia Abdul Haris dalam sambutannya juga berharap bahwa simposium ini dapat memperkuat wacana akademik mengenai Islam Nusantara.
“Kami harapkan mampu menjadi mimbar akademik mendalami wacana Islam Nusantara secara objektif dan mengedepankan aspek keilmuan,” katanya.
Interaksi Jalur Rempah
Ia menjelaskan, pengalaman interaksi bangsa Nusantara dengan masyarakat dunia membuat terlatih bersikap toleran dan menghargai perbedaan. Menurutnya, jalur rempah itu bukan hanya lintasan ekonomi, melainkan juga budaya. Jalur ini membentuk jejaring intelektual bangsa.
“Jalur rempah memengaruhi pola pikir, tradisi, budaya. Sayangnya, belum tergali,” ujarnya.
Dalam hal ini, para peneliti masih mengacu pada sumber Barat. Jalur Rempah bukti kemampuan bangsa Nusantara menjelajahi dunia. Rempah Nusantara sudah digunakan di Afrika, Eropa, dan wilayah lainnya jauh sebelum mengenal Nusantara, dibawa langsung bangsa Nusantara ke pusat perdagangan.
Oleh karena itu, ia berharap bahwa simposium ini dapat memperkuat perspektif dan menumbuhkan motivasi. Kegiatan ini diselenggarakan secara luring di Makara Art Center Universitas Indonesia dan daring melalui ruang virtual.
NU Mendunia, Al-Quran dan Hadis
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menjelaskan alasan umat Islam belum cukup jika hanya berpegang kepada Al-Qur’an dan hadits saja. Tetapi juga butuh ijma’ dan qiyas.
Dalam syariat-ibadah, NU mengikuti Imam Syafi’i yang secara jenius berhasil menggabungkan antara teks dengan akal. Teks berisi Qur’an dan hadits, sedangkan akal berisi ijma’ (akal kolektif, konsensus) dan qiyas (akal individual, analogi).
Kiai Said menjelaskan, orang paham agama Islam harus paham Al-Qur’an terlebih dahulu. Dalam Al-Qur’an sendiri, ada macam-macam ayat, mulai dari yang muhkamāt (jelas), mutasyābihāt (samar), muthlaqah (absolut), muqayyadah (bersyarat), Aam (umum), khaas (khusus), nasikhah (menghapus hukumnya), mansukhah (dihapus hukumnya) dan seterusnya.
Metode Berpikir Imam Syafii
“Walhasil, kita ikut Madzhab Syafi’i karena Imam Syafi’i berhasil menggagas sebuah metode, cara berpikir mengenai Qur’an, namanya ilmu Ushūlul Fiqh, yaitu prinsip-prinsip memahami istinbath, istidlal dari Qur’an dan Hadits,” terangnya.
Kalau sudah paham Al-Qur’an, lanjut Kiai Said, belum cukup, harus kembali ke Hadits. Hal ini karena di Qur’an masih banyak butuh penjelasan. Ia mencontohkan, dalam Al-Qur’an ada perintah salat 62 kali, tetapi Al-Qur’an tidak menjelaskan nama shalat itu apa dan berapa kali shalat sehari semalam. Penjelasan itu adanya di Hadis.
“Oleh karena itu kita tidak bisa meninggalkan Hadits. Kalau enggak pakai Hadits kita enggak ngerti. Namanya shalat saja kita enggak ngerti. Berapa shalat yang wajib sehari-semalam saja kita nggak ngerti kalau enggak pegang Hadits,” kata kiai kelahiran 3 Juli 1953 tersebut.
Kelanjutan Pemahaman Islam
Sesudah Al-Qur’an dan Hadits pun, lanjut Kiai Said, masih belum cukup karena Hadits tidak menjelaskan bagaimana caranya shalat, berapa dan apa saja komponennya. Di sinilah peran para ulama mujtahid seperti Imam Syafi’i, ber-ijtihad dengan pemahaman cerdasnya, sehingga memutuskan bahwa komponen shalat ada 17 (tujuh belas). Keputusan ini kemudian disepakati semua imam mujtahid dan disebut ijma’ (konsensus).
“Jadi seperti yang kita lakukan ini, dalam salat sehari-hari itu hasil ijtihad Imam Syafi’i,” tegasnya.
Kiai Said kemudian memberi contoh. Kalau ada orang berkata, misalkan, “Saya salat langsung dari pemahaman Al-Qur’an dan Hadits sendiri. Tidak taqlid kepada Imam Syafi’i.” Tetapi saat ditanya ”kamu belajar dari mana shalatnya?” dijawab “dari ayah saya, dari ibu saya sejak kecil”. “Itu namanya taqlid,” jelasnya.
Taqlid dan Belajar Ilmu Pesantren
“Tadinya mengatakan tidak taqlid kepada Imam Syafi’i, tapi mengatakan belajar dari ayah, dari ibu sejak kecil, dari imam mushala di sebelah rumah, itu namanya taqlid. Nanti imam mushallanya dari gurunya. Gurunya dari gurunya, dari gurunya, dari gurunya, mentok pada Imam Syafi’i,” tegasnya.
Imam Syafi’i murid Imam Malik. Imam malik murid Imam Rabiah. Imam Rabiah murid Imam Kharijah. Imam Kharijah putra Zaid bin Tsabit. Sahabat Zaid murid Rasulullah saw, karena sahabat.
“Artinya, kita ikut Imam Syafi’i itu artinya kita juga nyambung dengan shalatnya Rasulullah saw. Kita enggak mungkin kalau enggak taqlid dengan Imam Syafi’i. Contohnya Imam Syafi’i, contohnya. Salah satu madzhab empat yang kita contohkan Imam Syafi’i, gitu aja,” jelas ketua umum PBNU dua periode itu.
Masih menekankan pentingnya bermadzhab, kali ini kiai yang kerap kali memakai batik itu memberi contoh lain. Kalau ada orang berkata: “Saya langsung saja Al-Qur’an dan Hadits.” Coba saya tanya: “Hadits paling sahih menurut Anda apa, haditsnya siapa?” “Imam Bukhari yang paling sahih. Kita cukup pegang Qur’an dan Hadits Bukhari, sudah cukup,” “Eh, Mas, Mas, Ustadz. Imam Bukhari yang haditsnya paling sahih itu, yang ada 4000 hadits sahih di kitabnya itu. Beliau menyaring dari 600.000 menjadi 4000 yang sahih saja itu Imam Bukhari taqlid, bermadzhab kepada Imam Syafi’i,” ungkap Kiai Said.
Hadis Nabi dan Referensi Lain
Imam Bukhari namanya Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Beliau wafat tahun 256 H. Sedangkan Imam Syafii Lahir tahun 150 H dan wafat tahun 204 H.(Umur 54 tahun).
“Alhamdulillah, kita Nahdliyin berprinsip: harus bersyariah, bermadzhab kepada salah satu dari imam empat. Kita Indonesia semuanya madzhab Syafi’i,” pungkas kiai yang menyukai lagu-lagu Ummi Kultsum itu, bersyukur.
Kiai Said, yang alumnus Pesantren Lirboyo itu dalam acara pembukaan Konferensi Cabang (Konfercab) PCINU Amerika Serikat-Kanada yang digelar secara daring pada Sabtu 7 Agustus 2021 malam secara daring.
Advertisement