Bubur Suro Khas Tahun Baru Islam, Ini Filosofi dan Resepnya
Tanggal 1 suro diperingati oleh masyarakat Jawa dengan cara yang khas dan telah dilaksanakan secara turun temurun selama berabad-abad. Salah satu hidangan yang identik dengan Tahun Baru Islam adalah bubur suro. Masyarakat Jawa khususnya, menghadirkan bubur suran atau bubur suro pada malam menjelang datangnya 1 Suro.
Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa yakni bulan Sura atau Suro. Satu Suro ini bertepatan pula dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriyah atau Tahun Baru Islam.
Bubur suro punya rasa gurih dengan nuansa pedas yang tipis. Biasanya dibuat dari beras, santan, garam, jahe, dan sereh. Selain itu, bubur suro juga biasa disajikan dengan lauk berupa opor ayam dan sambal goreng labu siam berkuah encer dan pedas. Di atas bubur ditaburi serpihan jeruk bali dan bulir-bulir buah delima.
Ada pula tujuh jenis kacang yakni: kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, dan kacang bogor. Sebagian kacang ada yang digoreng, dan ada yang direbus. Tak itu saja, ada pula tambahan berupa irisan timun dan beberapa lembar daun kemangi. Sebagai uba rampe, bubur suro juga disajikan dengan uba rampe lainnya berbentuk sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan.
Kehadiran sirih lengkap melambangkan asal-usul dan penghormatan atau pengenangan kita kepada orang tua dan para leluhur, khususnya yang telah mendahului kita. Sirih lengkap akan diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga yang selalu hadir sebagai kelengkapan dalam ritual perlintasan Jawa dengan makna yang sama. Sementara untuk kembar mayang, merupakan dua vas bunga yang masing-masing berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.
Angka tujuh yang ada pada bunga dan kacang-kacangan juga punya arti sendiri. Tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu. Maknanya, dalam hidup setiap hari, kita harus selalu punya tekad dan keberanian untuk bertindak yang dilambangkan dengan mawar merah. Namun, semua tindakan tersebut haris dilandasi dengan niat yang bersih dan benar, yang dilambangkan oleh mawar putih.
Filosofi Bubur Suro
Ada sumber yang mengatakan bahwa terciptanya hidangan bubur suro untuk memperingati hari di mana Nabi Nuh selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar yang melanda dunia saat itu, seperti yang tertera pada kitab kuno, di antaranya Nihayatuz Zain (Syekh Nawawi Banten), Nuzhalul Majelis (Syekh Abdul Rahman Al-Usfuri), dan Jam'ul Fawaid (Syekh Daud Fatani),
Nabi Nuh bertanya kepada para sahabat masih adakah makanan yang tersisa di dalam kapal.Lalu sahabat menjawab "Masih ada ya Nabi", dengan menyebutkan bahan makanan yang tersisa mulai dari kacang poi, kacang adas, ba'ruz, tepung, dan kacang hinthon. Bahan tersebut lalu dimasak bersamaan.
Hal itulah yang akhirnya menjadi sebuah cikal bakal santapan lezat yang kini dinamakan Bubur Suro. Bubur Suro terbuat dari beras yang dimasak dengan aneka bumbu dan rempah tradisional seperti santan, serai, dan daun salam sehingga rasanya lebih gurih dibandingkan bubur biasanya. Biasanya sajian bubur Suro memiliki tampilan dan lauk yang berbeda-beda tergantung daerahnya.
Namun sebagian besar memiliki karakteristik yang sama, yakni disajikan bersama kuah santan kuning, tahu, orek tempe atau teri, telur, dan kacang-kacangan. Menariknya, harus ada tujuh jenis kacang yang ada dalam sepiring bubur Suro. Selain tujuh jenis kacang, tak lupa suwiran jeruk Bali dan buah delima ditaburkan di atas sajian bubur untuk menambah rasa asam yang unik.
Meski tak sepopuler dulu, bubur Suro masih bisa dijumpai di beberapa wilayah Jawa Timur, salah satunya Madura, dan sebagian wilayah Jawa Tengah seperti Yogyakarta, Solo, hingga Semarang. Selain disantap bersama keluarga dan kerabat terdekat, bubur Suro merupakan salah satu sajian yang sering dibagikan secara masal di masjid-masjid sebagai wujud sedekah dan berbagi rezeki kepada orang-orang yang membutuhkan.
Resep Bubur Suro Khas Jawa
Peringatan 1 Suro tak hanya diperingati dalam budaya Jawa tetapi juga Palembang. Bedanya terletak pada lauknya. Jika di Jawa menggunakan ayam, tahu, dan tempe, sedangkan di Palembang menggunakan daging sapi. Berikut resep untuk membuat bubur suro khas adat Jawa:
A. Bahan bubur
300 gr beras
2500 ml air santan
2 batang serai
2 lembar daun salam
2 lembar daun pandan ikat simpul
Secukupnya garam
B. Bahan Kering Tempe
1/2 papan besar tempe, iris
3 buah cabai merah
7 butir bawang merah
7 siung bawang putih
2 ruas lengkuas
1/2 sdm asam, larutkan dengan air
3 lembar daun jeruk
2 lembar daun salam
6 buah cabai merah, iris serong lalu goreng sebentar
3 sdm gula
C. Bahan Kare Tahu dan Ayam
250 gr tahu, potong dadu, goreng sebentar
500 gr ayam, potong dadu
16 butir bawang merah
10 siung bawang putih
5 buah kemiri
1 sdt ketumbar
2 ruas kunyit
Sedikit jinten
6 lembar daun jeruk
3 lembar daun salam
3 batang serai
1000 ml santan kental
D. Bahan pelengkap lain
Telur dadar
Kacang goreng
Kacang kedelai goreng
Seledri
E. Cara Membuat
1. Untuk membuat bubur, masak semua bahan bubur menjadi satu, aduk terus sampai menjadi bubur
2. Untuk membuat kering tempe, haluskan cabai merah bawang putih, bawang merah, lengkuas.
3. Tumis bumbu halus dengan daun jeruk, daun salam, masak hingga harum, lalu masukkan air asam, gula dan garam.
4. Masak hingga mendidih dan mengental menjadi karamel, matikan api. Masukkan tempe dan cabai merah iris, aduk sampai rata.
5. Untuk membuat kare tahu dan ayam, haluskan bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, jahe, kunyit, jinten.
6. Tumis bumbu halus dengan serai, daun jeruk, daun salam, gula dan garam sampai harum.
7. Masukkan ayam, masak hingga ayam berubah warna lalu masukkan tahu.
8. Masak hingga ayam matang lalu masukkan santan, masak hingga santan mendidih. Koreksi rasa. Angkat
9. Hidangkan Bubur Suro, tuang ke dalam piring, taburi dengan bahan pelengkap, kemudian siram dengan kuah kare, dan siap dinikmati.
Advertisement