Bubur Sengkolo
Artikel
oleh R Wilis
Hampir semua orang menyukai berbagai panganan tradisional yang berbahan dasar beras ketan. Jadah, wajik, lemper, kue lupis, ketan bubuk, pasti banyak penggemarnya. Legit rasanya, berasal dari perpaduan serasi beras ketan dengan santan atau parutan kelapa. Jenis makanan tradisional seperti itu tak akan lekang oleh waktu. Setiap era berganti, ia akan muncul dengan tampilan yang semakin canggih menggiurkan. Selain karena rasanya, beberapa jenis panganan itu masih muncul mengiringi peringatan hari besar kelahiran maupun tradisi upacara selamatan Jawa yang masih dipegang erat hingga kini. Termasuk bubur sengkolo, si bubur merah putih.
Membuat si Bubur Tradisi
Saat masih hangat, aroma manis gula jawa atau aren akan berpadu dengan harum pandan dari santan kelapa, membuat tak ada yang mampu menolak bubur ini. Apalagi bila mengetahui langkah pembuatannya yang membutuhkan tahapan dan menuntut kesabaran. Bubur ini pasti dibuat dengan tujuan tertentu.
Beras ketan sebagai bahan utama perlu direndam terlebih dahulu semalam. Baru pagi harinya, siap dimasak. Untuk mendapatkan rasa yang gurih-legit, setiap satu kilo beras akan pas bila ditambahkan santan dari satu butir kelapa. Bahan utama lainnya adalah gula jawa atau bisa juga memakai gula aren, tergantung persediaan yang ada. Sebaiknya dipilih gula kelapa yang bersih, coklat dan jernih, agar menghasilkan sirup yang sempurna. Jangan lupa, tambahkan daun pandan saat merebus santan. Amboi, harumnya.
Di masa lalu, ketika daun pisang masih begitu mudah diperoleh, bubur yang telah masak akan ditata dalam takir daun pisang. Tampilan seperti itu di masa kini, bukan lagi tampilan ndeso ala kadarnya. Harga bubur sengkolo dalam takir daun pisang akan jauh lebih mahal. Hampir semua jajanan yang disajikan secara tradisional termasuk bahan pembungkusnya, kini terasa lebih eksklusif. Siapa pun yang masih memegang kuat tradisi, biasanya akan rela membayar lebih mahal.
Simbol Keselamatan dan Doa
“Buatlah bubur sengkolo dan bacalah doa, agar selamat dari mara bahaya.”
Bubur sengkolo adalah bubur beras ketan merah putih yang kita kenal. Warna merah adalah simbol indung telur. Warna putih menyimbolkan sperma. Biasanya penataan bubur sengkolo memang dominan warna merah, bagian putih dituang di tengah. Ternyata, bubur ini memang mempunyai makna sebagai simbol kehidupan manusia yang baru.
Pada perjalanan manusia yang aneka rupa nasibnya, ada yang menyematkan bubur sengkolo sebagai sajian sesaji saat berdoa. Bisa jadi karena terbuat dari bahan yang lebih sederhana dibanding sesaji lainnya, bubur sengkolo dipilih masyarakat sejak jaman dahulu kala di nusantara.
Bubur sengkolo umumnya disajikan sebagai pengiring doa keselamatan, penolak bala, dan permohonan kelancaran kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum nusantara mengenal agama, bubur ini telah dipakai sebagai bancakan bila memiliki hajat tertentu.
Pada perayaan Tahun Baru Islam, tak jarang masih ada tetangga mengirim bubur sengkolo. Pada peringatan tanggal kelahiran atau dikenal dengan weton, bubur sengkolo dibuat dengan tujuan agar selamat sejahtera hidupnya. Begitulah salah satu kearifan lokal yang diyakini turun-temurun.
Lalu Bagaimana dengan Generasi Milenial?
Tahukah mereka makna dari Bubur Sengkolo? Bisa jadi sekarang, mereka lebih memaknainya sebagai salah satu kekayaan kuliner nusantara. Beberapa penjual atau toko kue kerap menyediakan aneka bubur termasuk bubur merah putih dalam wadah mika ukuran personal. Sehingga mereka yang menyukai kelegitan bubur beras ketan ini, bisa menikmatinya kapan saja, tidak harus menunggu weton atau acara tertentu.
Sebenarnya suatu hal yang menyenangkan bila mengetahui ada makna tersembunyi dari sebuah hidangan yang kita makan. Setiap kali makan kita diajarkan cara berdoa, berterima atas karunia makanan, dan berharap apa yang kita makan menjadi sesuatu yang memenuhi kebutuhan tubuh, menyehatkan, dan memuaskan hasrat mengunyah.
Ah ya, mengapa bubur sengkolo menjadi simbol makanan kehidupan baru? Teksturnya yang lembut, seperti seorang bayi pertama kali dikenalkan pada makanan pendamping ASI biasanya berbentuk bubur, sebuah simbol kelembutan, sikap yang manis dan menyenangkan. (RWilis untuk Perlima)