Bubarkan Diskusi, FPI Kekeuh PRD Komunis
Front Pembela Islam atau FPI kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya mereka dianggap menjadi salah satu ormas yang ikut dalam pembubaran acara diskusi dalam Hari Ulang Tahun Partai Rakyat Demokratik (PRD) ke-25 di Surabaya, Senin 22 Juli 2019 malam.
FPI bersama beberapa ormas lainnya seperti Laskar Pembela Islam (LPI), Himpunan Putra Putri Keluarga Angkatan Darat (Hipakad) dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia (FKPPI).
Gabungan ormas ini menganggap secara kelembagaan PRD telah dilarang sejak 1997. Pendapat itu disampaikan oleh salah satu aktivis LPI bernama Agus. Dia bahkan menganggap bahwa PRD itu identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tak hanya LPI yang mengaggap PRD adalah komunis. FPI pun juga mencap hal yang sama. Ketua FPI Jawa Timur, Habib Haidar AlHamid menyebut, tindakan yang dilakukan oleh FPI dan ormas-ormas tersebut adalah untuk melindungi Indonesia, Pancasila, dan agama. Ia tak mau ideologi dan paham komunis kembali menggerogoti NKRI seperti tahun 1965.
“Silahkan membuat acara apapun, namun kalau sudah membahayakan aqidah, negara dan bangsa, harus ditindak. FPI ada komando atau tanpa komando, kalau ada orang yang mau bangkitkan PKI atau komunisme kita sikat,” ujarnya kepada ngopibareng.id
FPI akan ada di garda terdepan untuk melindungi NKRI, Pancasila, bangsa, dan agama. Habib Haidar menegaskan bahwa ia tak melarang ormas apapun untuk membuat acara apapun. FPI tak akan mengganggu atau bertindak kalau acara tersebut tidak membahayakan.
Selain itu ia juga mengungkapkan alasan kenapa FPI Senin malam lalu turun tangan membubarkan acara HUT PRD. Baginya, hingga saat ini, PRD masih merupakan organisasi yang terlarang dan membahayakan. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 210-221 Tahun 1997 tentang Pembubaran dan Pelarangan Organisasi Partai Rakyat Demokratik.
Atas dasar itu ia mengatakan, FPI berani turun tangan untuk membubarkan acara tersebut. Selain itu, menurut Haidar, acara PRD tersebut tak mengantongi izin dari pihak Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Surabaya. Sehingga sah-sah saja untuk dibubarkan.
Menurutnya, selama Peraturan Menteri Dalam Negeri itu belum dicabut oleh pemangku kekuasaan, maka selama itu pula PRD secara organisasi tak boleh melakukan dan menyelenggarakan acara apapun atas nama PRD.
“Polisi saja tak beri izin kan, ya karena adanya Permendagri itu. Kok berani-beraninya bikin acara padahal organisasinya sudah dilarang. Kan ndablek itu namanya. Biasalah orang-orang seperti itu kan ngeyel terus biar bisa terselenggara acaranya,”ungkap Haidar.
Haidar tak mau menjawab soal ada putusan PTUN yang melegalkan PRD. Bahkan PRD sempat mengikuti pemilu pada 1999. Haidar terus meyakinkan bahwa PRD adalah neo-PKI. Dia kemudian menyarankan untuk konfirmasi ke sejarahwan sekaligus Direktur Center for Indonesian Community Study (CICS), Harukat Djaswadi.
“Kalau sudah dilarang ya dilarang. Apalagi cara mereka berpolitik, berideologi itu memang neo-PKI. Kalau tanya sejarah PRD dan cara mainnya, tanya Pak Harukat saja. Beliau lebih tahu secara dalam,” ungkapnya.
Haidar berharap masyarakat tak perlu memandang miring keputusan FPI untuk membubarkan acara PRD. Menurutnya, FPI malah ingin melindungi masyarakat dari rongrongan organisasi yang menggunakan paham komunis.