Bu Yayuk, Guru di Lereng Bromo Tak Canggung ‘Nunut’ Pikap Sayur
Hari Guru Nasional sekaligus Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI yang jatuh pada hari ini, Rabu, 25 November 2020 ada sepenggal suka-duka dialami Lestari Rahayu, 37 tahun, guru tidak tetap (GTT) di lereng Gunung Bromo, Desa Ledokombo, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Bagaiman kisah? Simak laporan berikut.
Pagi masih terasa menggigil di badan. Maklum, lokasinya ada di lereng Gunung Bromo Jawa Timur. Namun pagi yang menggigil itu yang tak menyurutkan semangat Lestari Rahayu untuk memulai beraktivitas.
Seperti biasa, hampir setiap pagi Lestari Rahayu atau akrab dipanggil Yayuk mencari tumpangan pick up sayur yang akan naik ke lereng Gunung Bromo. Tapi jangan salah, Yayuk bukan pedagang sayur. Dia adalah guru yang mengajar di SMPN 5 Sumber Probolinggo.
Meski profesinya adalah guru yang biasanya dihormati, tak membuat Yayuk canggung atau malu-malu untuk cari tumpangan pick up. Tujuannya satu. Bagaimana dia bisa berangkat mengajar tanpa terlambat.
Lokasi SMPN 5 Sumber Probolinggo memang berada di lereng Gunung Bromo. Yayuk sudah mengajar sejak tahun 2010.
“Saya mulai jadi guru di SMPN 5 Sumber tahun 2010 silam karena tidak menemukan sekolah di Kota Probolinggo yang bersedia menerima saya,” katanya.
Selama setahun menjadi guru honorer, Bu Yayuk mengaku, tidak menerima gaji. “Tetapi saya telanjur jatuh cinta menjadi guru, tidak digaji setahun pun tetap mengajar,” kisahnya.
Ia memaklumi, saat itu SMPN 5 memang sekolahnya masih satu atap dengan SDN Sumberanom 3 Kecamatan Sumber. Sekolah ini memang baru berdiri. Ketika baru berdiri, sekolah yang berlokasi di Desa Ledokombo itu hanya memiliki 20 murid.
“Sekarang sudah lumayan, 60 murid,” katanya.
Setahun kemudian Yayuk menerima gaji Rp150 ribu per bulan selama empat tahun. Setelah itu gajinya meningkat menjadi Rp750 ribu per bulan.
“Pada 2017 lalu, saya menerima SK GTT dari Bupati Probolinggo, gaji saya meningkat menjadi Rp1,3 juta,” kata alumnus Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Panca Marga (UPM) Kabupaten Probolinggo tahun 2007 itu. Gajinya sebagai guru memang bertambah meski sedikit, tapi tetap saja tak bisa menutup biaya transportasi Yayuk untuk berangkat mengajar.
Karena gajinya yang masih minim itu, membuat Yayuk memutar otak bagaimana bisa bertahan mengajar. Apalagi perjalanan Bantaran-Ledokombo dengan mobil penumpang umum (MPU) perlu ongkos Rp15 ribu sekali berangkat.
“Karena memang tidak bisa naik motor, awal-awal mengajar saya naik angkutan umum. Ongkosnya untuk umum Rp20 ribu, karena saya guru didiskon jadi Rp15 ribu,” katanya.
Tetapi perjalanan dengan angkutan umum membuat Yayuk sering kesiangan sampai di sekolah. Akhirnya, dari rumahnya di Kota Probolinggo, ia diantar keluarganya dengan sepeda motor sampai di Bantaran.
“Dari Bantaran hingga di Ledokombo, saya numpang pick up sayur. Gratis! Saya duduk di samping sopir, bukan di bak pick up lho,” ujarnya sambil tersenyum.
Demikian juga saat hendak pulang ke Probolinggo, ia nunut pikap yang akan “turun” dari lereng Bromo menuju Probolinggo.
Bu Yayuk mengaku, sampai akrab dengan sedikitnya lima sopir pick up sayur dengan trayek Ledokombo-Bantaran. Ia juga pernah sesekali naik truk pengangkut sayur. Bahkan, Bu Yayuk punya pengalaman indah saat nunut truk sayur. Ia berkenalan dengan Sunarto (47), sopir truk asal Tongas, Kabupaten Probolinggo. Sopir truk sayur ini kemudian malah jadi suaminya.
Ia menikah dengan Sunarto pada September 2017 silam. “Kenangan indah, jatuh cinta di atas truk sayur,” ujar Bu Yayuk tertawa.
Dan kebiasaan Bu Yayuk nunut pick up sayur berlanjut hingga kini. “Suami kemudian menjadi sopir truk perusahaan, bukan truk sayur lagi. Ya saya tetap nunut pick up sayur,” katanya.
Sang suami hanya mengantarkan Bu Yayuk dengan motor sampai di Bantaran. Setelah itu jalur Bantaran-Ledokombo, ia bersama pick up sayur. “Pernah pula karena suami tidak bisa menjemput, dari Bantaran ke Probolinggo saya nunut odong-odong,” ujarnya.
Rupanya semangat hidup penuh perjuangan diwarisi Bu Yayuk dari ayahnya, Muridan, pensiunan tentara dan ibunya, Mukiyah, ibu rumah tangga. “Setelah ayah meninggal dunia, meski kakak saya keberatan saya jadi guru di tempat terpencil, ibu yang menyemangati saya,” katanya.
Selama numpang pick up sayur Yayuk mengaku tak pernah merasa takut. “Saya merasa tenang, karena dalam perjalanan jauh nunut pick up, saya biasa membaca shalawat,” ujar pemegang Akta IV (sertifikat kependidikan) dari STKIP PGRI Pasuruan itu.
Yayuk juga terbiasa menggunakan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Termasuk ketika meminta izin hendak nunut pick up sayur. Para sopir pikap sayur justru senang dinunuti guru yang mengajar di Sumber.
“Saya juga pernah nunut pick up sayur yang disopiri wali murid, bahkan disopiri murid saya,” tambah Yayuk. Perempuan berjilbab itu pun tidak canggung bercakap-cakap dengan wali murid dan murid yang menjadi sopir sayur.
Setelah 10 tahun mengajar di lereng atas Gunung Bromo, apakah ada keinginan ingin turun? “Saya pernah ditawari Bu Tantri (Bupati Puput Tantriana Sari) untuk pindah mengajar, tetapi saya katakan sudah kadung senang mengajar di Ledokombo,” katanya.
Begitu cintanya dengan dunia pendidikan di gunung, Bu Yayuk pun rela berangkat dini hari sebelum subuh jika di sekolahnya ada ujian. “Saya berangkat dari rumah di Probolinggo pukul 03.00 dinihari, nyegat Bison yang pertama kali berangkat menuju Ledokombo. Soalnya harus menyiapkan soal-soal untuk siswa,” ujarnya.
Dan di masa pandemi Covid-19 ini, dunia pendidikan di Kecamatan Sumber tetap menerapkan kegiatan belajar mengajar dengan tatap muka. “Dalam seminggu, tiga kali kegiatan belajar tatap muka. Tidak bisa belajar daring karena sinyal HP di gunung susah,” pungkas Bu Yayuk.
Advertisement