Bu Ani Bukan Hanya Ibu Negara
Kabar wafatnya Ibu Negara (2004-2014) Kristiani Herrawati Binti Sarwo Edi langsung memenuhi semua laman media. Istri Presiden RI ke-6 yang akrab dengan panggilan Ibu Ani Yudhoyono ini menghembuskan nafas terakhirnya di National University Health System di National Univeristy of Singapore (NUS) pukul 11.45 waktu setempat. Tepat di hari ke 25 bulan Ramadhan.
Bagi sebagian kaum Muslim, inilah kematian yang indah. Kematian di bulan suci Ramadhan. Bulan yang penuh berkah dan penuh dengan pengampunan. Banyak yang meyakini, kematian di bulan yang suci seperti sekarang menunjukkan kebaikan orang yang telah meninggal.
Bagi bangsa ini, Ibu Ani adalah bagian dari sejarah bangsa. Ia adalah ibu negara selama dua periode ketika Republik Indonesia dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia juga seorang putri Jenderal (Purn) Sarwo Edi, seorang yang peran kenegaraannya sangat penting dalam perjalanan Indonesia paska kemerdekaan.
Tapi, sejauh pengetahuan saya, Ibu Ani bukan hanya seorang Ibu Negara. Ia bukan hanya istri dari seorang presiden RI. Tapi ia juga ideolog, pemikir, dan penyusun platform Partai Demokrat, partai yang dibesutnya bersama SBY. Partai ini yang ikut mengantarkan suaminya menjadi presiden dan pernah menjadi pemenang pemilu.
Saya beruntung sempat bertemu SBY secara khusus. Yakni, di ruang perpustakaan pribadinya di kediaman SBY di Cikeas, Bogor dan di Istana Bogor. Di dua pertemuan tersebut terungkap banyak hal peran Bu Ani dalam ikut menentukan karir politik suaminya dan perannya dalam membesarkan partai.
Ruang perpustakaan pribadi SBY di Cikeas adalah ruang bersejarah. "Di tempat ini, saya, Bu Ani, dan kawan-kawan merancang Partai Demokrat. Mulai dari merumuskan platform partai sampai dengan mendesain simbol maupun bendera partai," kata SBY saat itu.
Ruang seluas 20 meter persegi itu sekelilingnya penuh dengan rak buku. Ada satu meja rapat dan kursi untuk 10 orang. Bisa juga ditambah kursi di belakangnya jika peserta rapat melebihi jumlah kursi yang tersedia. Di ujung ada kursi tempat duduk SBY dengan ipad selalu ada di depannya.
Pertemuan khusus selalu digelar di ruang tersebut. Jika ada pertemuan lebih besar digelar di pendopo yang terletak di samping rumah utama putra Pacitan Jawa Timur ini. Demikian juga jika jenderal yang dua periode menjadi Presiden RI ini menggelar kegiatan keluarga maupun partai dalam jumlah besar.
Dalam pertemuan tersebut, SBY memang banyak menceritakan perjalanan politiknya sekaligus bagaimana proses pembentukan Partai Demokrat. Beberapa kali ia menyebut Bu Ani dalam pertemuan selama dua jam tersebut. "Di tempat ini, bersama Bu Ani merancang partai sampai tengah malam maupun dini hari," tuturnya.
"Di tempat ini, saya, Bu Ani, dan kawan-kawan merancang Partai Demokrat. Mulai dari merumuskan platform partai sampai dengan mendesain simbol maupun bendera partai," kata SBY saat itu.
Hal yang sama juga diungkapkan berulang-ulang saat pertemuan di Istana Bogor, beberapa bulan setelah pertemuan di Cikeas. Bahkan, dalam diskusi bersama team selama dua hari di istana tersebut, Bu Ani selalu berada di samping SBY. Setiap kali, Bu Ani ikut nimbrung diskusi ikut menyampaikan pikiran-pikirannya.
Dalam posisinya sebagai pendamping Presiden RI dua periode, Bu Ani tergolong seorang yang hamble. Ia selalu berusaha memanggil nama dengan orang-orang yang dikenalnya. Saya pun merasa istimewa setiap saat bertemu dengannya. Sebab, ia selalu menyapa dengan sapaan personal.
Bu Ani memang bukan sekedar Ibu Negara saat SBY menjadi presiden. Ia juga seseorang ahli strategi politik yang selalu mendukung karir suaminya. Ia secara sempurna telah mewujudkan adagium bahwa di balik sukses seorang pria selalu ada perempuan yang menopangnya.
Bu Ani memang bukan sekadar perempuan biasa. Ia lahir dari seorang jenderal TNI AD ahli intelijen yang ikut menjadi bidan lahirnya pemerintahan Orde Baru. Syarwo Edi, ayah Bu Ani, adalah salah satu orang yang sangat disegani Soeharto. Karena itu, sepanjang pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, orang tua Bu Ani selalu terlibat dalam pemerintahan.
Kecerdasan dan visinya tentang kenegaraan bukan mustahil menurun kepada putrinya yang disunting prajurit cerdas yang lahir dari orang biasa ini. Bu Ani seakan menjadi sparing patner sehari-hari SBY dalam merumuskan strategi politik sepanjang karir jenderal lulusan Akabri yang pernah seangkatan dengan Prabowo Subianto ini.
Bu Ani memang bukan sekdar Ibu Negara saat SBY menjadi presiden. Ia juga seseorang ahli strategi politik yang selalu mendukung karir suaminya. Ia secara sempurna telah mewujudkan adagium bahwa di balik sukses seorang pria selalu ada perempuan yang menopangnya.
Karena itu, bukan hal mustahil jika SBY berbulan-bulan mendampingi Bu Ani dalam melawan kanker sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Seakan SBY yang biasanya sangat sensitif dengan persoalan politik dalam negeri, dia lupakan sepenuhnya hanya untuk mendampingi Bu Ani.
Kini Bu Ani telah menghadap ke Yang Maha Kuasa. Akankah SBY tetap mampu setegak ketika Bu Ani masih ada disampingnya setiap saat? Akankah ia setegar dan secerdas ketika Bu Ani masih hidup? Akankah ia betul-betul kehilangan satu tiang penyangga paska Bu Ani mendahuluinya?
Rasanya kita hanya bisa berdoa semoga SBY tetap tegar sepeninggal Bu Ani. Sehingga mampu menjadi salah satu Bapak Bangsa yang bisa mengawal perjalanan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang utuh dan tak bubar selamanya. Tetap mengawal apa yang telah diperbuat selama 10 tahun menjadi presiden tetap bermakna.
Selamat jalan Bu Ani. Bangsa ini beruntung pernah punya seorang putri bangsa yang mampu memberi teladan kepada banyak perempuan bagaimana seorang istri menopang suaminya. Bagaimana seorang ibu membangun keluarga yng harmoni. Seorang ibu yang tak hanya menjadi ibu negara. Tapi juga penopang tugas seorang presiden. (Arif Afandi)