Bromo (Kurang) Kolaborasi
Setelah lama tak menonton Jazz Gunung di Bromo, kemarin saya datang lagi. Selain sudah kangen ketemu temen-temen penggagasnya, juga karena ada penyanyi Vina Panduwinata dan Grup Band GIGI.
Untuk generasi saya, siapa yang tak kenal dengan Vina Panduwinata dan GIGI. Yang pertama seperti “Adele”-nya Indonesia. Penyamyi dengan kekuatan vokal yang istimewa. Suaranya khas dan berwibawa. GIGI juga band yang bukan ecek-ecek. Arman Maulana dikenal vokalis berkelas. Mudanya langganan juara festival.
Jazz Gunung tahun ini sudah digelar 16 kali. Event musik tahunan ini digagas dan didirikan oleh empat orang. Mereka adalah suami istri banker Sigit Pramono bersama seniman kakak beradik: Butet Kertarejasa dan Jadug Ferianto.
Dari empat penggagas itu, kini tinggal dua yang masih hidup. Sigit dan Butet. “Enam belas tahun lalu, kali pertama Jazz Gunung digelar di pelataran hotel sana. Dengan gratis,” kata Sigit, banker yang dekat dengan para musisi dan penggemar fotografi ini. Ia juga pemilik hotel Jiwa Jawa Bromo ini.
Setelah itu, pertunjukan jazz digelar di amphiteater yang dibangun di samping hotel. Dengan panggung yang megah terbuat dari arsitektur bambu karya Novi Kristinawati asal Jogjakarta. Yang bisa menampung ribuan penonton dengan duduk secara nyaman.
Ini memang festival musik jazz yang unik. Di gelar di lapangan terbuka dengan latar belakang gunung alam dan suhu udara yang dingin. Sehingga menonton festival ini perlu mengenakan pakaian tebal agar tak kedinginan. Apalagi musim “bediding” seperti sekarang ini.
Tapi ya setiap tahun, penggemar jazz selalu berdatangan. Mereka ada yang menginap dan menonton selama dua hari pertunjukan. Ada juga yang tidak menginap. Setiap tahun, Jazz Gunung selalu digelar dua hari berturut-turut. Di akhir pekan: Jumat dan Sabtu. Karena itu, penonton bisa sekaligus merancang wisata Gunung Bromo yang eksotis itu.
Saya pun tidak selalu menginap di kawasan wisata terkenal itu setiap kali nonton Jazz Gunung. Hanya beberapa kali ketika anak-anak masih kecil. Juga saat Jadug Ferianto masih hidup. Tahun ini menginap karena ada hotel baru yang perlu dicoba selain Jiwa Jawa. Hotel itu adalah Artotel Cabin Bromo.
Hotel ini terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BNBTS). Tak jauh dari pintu masuk kawasan taman nasional. Karena itu, untuk menuju ke hotel dengan landscape pegunungan yang indah itu, harus membayar retribusi secara online ke taman nasional.
Dua puluh meter sebelum pintu masuk Taman Nasional, ada gerbang lagi. Disitu harus membayar retribusi Pemkab Probolinggo sebesar Rp25 ribu. Sedangkan masuk Taman Nasional harus membayar Rp34 ribu untuk wisatawan domestik dan Rp320 ribu untuk wisatawan mancanegara. Ini tarif di hari libur.
Untungnya, tiket masuk itu bisa dipakai untuk multi entry bagi yang menginap di hotel yang masuk kawasan wisata Bromo. Caranya dengan hanya menunjukkan tiket dalam bentuk kertas. Logikanya harus membayar kembali kalau tiket yang telah dibeli hilang atau ketlingsut. Sedikit rumit.
Pertanyaannya kenapa antara tiket masuk wisata Bromo dan retribusi Pemda tidak digabung saja? Bukankan hal seperti itu gampang sekali untuk dikolaborasikan? Ini menunjukkan kesadaran kolaborasi antar pemerintah masih sangat kecil. Wisata Bromo berada di bawah otoritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Bisa juga kolaborasi antara Pemda, KLHK dan pihak swasta pengelola hotel di dalam kawasan BNBTS. Tentu hal tersebut bukan hal mustahil dilaksanakan meski pintu masuk ke kawasan wisata itu melalui beberapa pemerintah kabupaten di sekitar kawasan Bromo. Apalagi ditambah kolaborasi untuk mempercantik pintu masuk kwasan wisata dunia itu.
Sungguh mengesankan pengelolaan wisata Bromo nir kolab. Suatu tata kelola yang bisa dianggap primitif untuk jaman sekarang.
Padahal, Jazz Gunung telah menunjukkan contoh sukses kolaborasi dalam menggenjot pariwisata Indonesia. Event tahunan itu selalu mendapatkan kunjungan penonton setiap tahunnya. Kolaborasi swasta, musisi, dan pemerhati budaya Indonesia.
Konsistensi dalam membangun kolaborasi antar berbagai pihak itu menjadikan Jazz Gunung terus berkembang. Bahkan, tahun ini, menjadi Jazz Gunung Series: Mulai dari Jazz Gunung Slamet (Purwokerto), Jazz Gunung Bromo (Probolinggo), Jazz Gunung Ijen (Banyuwangi), dan Jazz Gunung Golomori (Labuan Bajo).
Jazz Gunung Series 2024 diinisiasi Jazz Gunung Indonesia (JGI). Suasana kolaborasi itu terasa oleh keterlibatan berbagai pihak dalam even musik ini. Ada banyak sponsor yang selalu terlibat dalam rangkaian festival di berbagai daerah tujuan wisata ini. Terbaru keterlibatan Andi F Noya, host talk show yang terkenal dengan Kick Andy.
‘’Enam belas kali bukan bilangan yang kecil. Sungguh ini kontribusi yang tidak sedikit bagi musik jazz dan pariwisata di Indonesia,’’ katanya.
Menurut, Sigit, penyelengaraan Jazz Gunung Series 2024 ini merupakan usul dari Andi F Noya.
Yang pasti, Jazz Gunung yang digagas kalai pertama oleh pasangan suami istri dan dua kakak beradik seniman Jogja ini merupakan contoh kolaborasi yang sukses. Dunia modern memang dunia kolab. Akan tampak primitif jika kawasan wisata dikelola nir kolab seperti Kawasan Bromo.
Piye iki Mas Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno?
Advertisement