Bripda Randy Dituntut 3,5 Tahun, JPU Dinilai Tak Penuhi Keadilan
Tim advokasi keadilan untuk Novia Widyasari kecewa dengan tuntutan terhadap eks Bripda Randy. Putusan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Mojokerto, Jawa Timur, terhadap terdakwa Randy Bagus Hari Sasongko gagal memenuhi keadilan bagi korban, yakni Novia Widyasari.
Menurut rilis yang diterima ngopibareng.id, dalam tuntutannya yang dibacakan JPU kepada majelis hakim pemeriksa perkara nomor : 46/Pid.B/2022/PN.Mjk pada persidangan 12 April 2022 lalu, Randy Bagus dituntut dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, mantan polisi berpangkat Bripda itu dinilai memenuhi unsur pelanggaran terhadap Pasal 348 ayat 1 juncto 56 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, tuntutan hukuman untuk Randy, lebih rendah daripada dakwaan. Dalam perkara ini, Randy didakwa melanggar Pasal 348 KUHP ayat 1 juncto 56 ayat 2 dengan ancaman pidana 5 tahun 6 bulan.
Perwakilan tim advokasi pencari keadilan untuk Novia, Ansorul Huda menegaskan, JPU sebagai penegak hukum telah menyakiti nurani dan psikologis keluarga serta kerabat Novia dengan mengatakan secara terang-terangan tuntutan yang diajukan tersebut telah maksimal dengan dikurangi 1/3 dari ancaman maksimal hukuman yang diatur dalam Pasal 348 ayat (1) KUHP.
"Sehingga kita menilai JPU gagal memenuhi keadilan bagi korban. Ada banyak preseden perkara, termasuk perkara ini, bila pelaku dari unsur aparat negara tuntutan dalam sidang cenderung ringan, beda dengan perkara yang pelakunya dari rakyat jelata, akan sangat tajam," tulisnya dalam rilis, Kamis 14 April 2022.
Menurut tim advokasi Novia Widyasari, JPU tidak memiliki perspektif perlindungan terhadap perempuan dan tidak melihat adanya ketimpangan relasi kuasa antara korban dan terdakwa yang menyebabkan korban rela melakukan aborsi.
"JPU tidak mengurai bagaimana latar belakang yang menyebabkan korban rela melakukan aborsi hingga memutuskan untuk bunuh diri dengan meminum racun," ujarnya.
Selanjutnya, dalam menyusun dakwaan dan tuntutan JPU mengabaikan dan tidak patuh terhadap Jaksa Agung selaku Pimpinan Tertinggi dalam lembaga Kejaksaan yang membuat dan mengesahkan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.
Dalam Bab VI angka 8 tentang Pemeriksaan di Pengadilan mengatur “Pemeriksaan terhadap korban dan/atau saksi dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi, kehormatan dan martabatnya tanpa intimidasi dan tidak menjustifikasi kesalahan, cara hidup dan kesusilaan termasuk pengalaman seksual korban dan/atau saksi.
"Tindakan JPU dalam menyusun dan mengonstruksi dakwaan serta tuntutan yang secara vulgar dan terang-terangan menjelaskan tentang bagaimana pengalaman seksual korban, ini sangat menyakiti hati keluarga, kerabat serta masyarakat luas. Ini menunjukkan bahwa JPU telah tertutup hati nuraninya," ungkap tim advokasi Novia Widyasari.
Selain itu, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LBH-NU) Kabupaten Mojokerto itu menambahkan, JPU sebagai ujung tombak yang diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan terhadap korban dan masyarakat justru seakan memberikan ruang spesial terhadap Terdakwa dengan menahan Terdakwa di Ruang Tahanan Polres Mojokerto.
Ditambahkannya, tindakan JPU itu tersebut telah mengingkari dan melanggar ketentuan yang diatur dalam KUHAP sebagai dasar pelaksanaan Hukum Acara Pidana, dalam Pasal 21 KUHAP terdakwa atau tersangka ditahan dalam rumah tahanan Negara.
"Perbuatan tersebut seakan kembali menambah daftar panjang Penegak Hukum yang tidak patuh terhadap hukum yang berlaku," ungkapnya.