BRIN Temukan Ular Air Baru di Sulawesi, Jumlah Spesies Jadi 60
Spesies ular air jenis baru berhasil ditemukan Tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan nama Hypsiscopus indonesiensis dari Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Penemuan taksa baru ular ini menggenapkan jumlah ular di Sulawesi yang semula berjumlah 59 spesies menjadi 60 spesies.
Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, BRIN, Amir Hamidy mengungkapkan, pada tahun 1985 Den Bosch mencatat terdapat 55 jenis ular di Sulawesi. Dua puluh tahun kemudian yakni tahun 2005, De Lang & Vogel merevisi jumlah tersebut menjadi 52 spesies. Sejak saat itu, tujuh spesies ular baru berhasil diidentifikasi di Sulawesi. Sehingga temuan baru ini menggenapkan jumlah ular darat di Sulawesi menjadi 60 spesies.
Berdasarkan studi molekuler yang dilakukan tim peneliti BRIN bersama tim dari Institut Pertanian Bogor, Universitas Tanjungpura, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Amir mengungkapkan, ular bewarna abu-abu kecoklatan memiliki ekor yang pipih secara lateral, jumlah baris sisik yang lebih banyak di bagian tengah tubuh, jumlah sisik ventral yang lebih banyak, jumlah sisik ekor yang lebih sedikit, dan pola warna yang khas (blirik) dibandingan jenis Hypsiscopus lain.
“Ada cerita menarik dari temuan H. indonesiensis ini. Spesimen ular ini berasal dari enam spesimen yang dikoleksi pada tahun 2003 dan satu spesimen pada tahun 2019. Jika dilihat rentang waktunya cukup jauh sekitar 16 tahun. Mengapa proses identifikasinya tertunda? Karena jumlah spesimen masih terbatas,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu 24 Januari 2024.
Amir melanjutkan, setelah tahun 2019, sivitas LIPI (pada saat itu) membawa spesimen segar dari Danau Towuti yang sangat membantu proses identifikasi karakter diagnostik menjadi lebih valid. Akhirnya temuan tersebut dipublikasikan pada jurnal Treubia Volume 50 Nomor 1 tahun 2023.
“Jika dilihat dari karekter fisiknya, ular endemik Sulawesi ini populernya disebut ular air ekor pipih. Kelompok genus ini hidup diperairan tawar dan memangsa ikan kecil, anak katak dan kepiting. Dilihat dari panjang tubuhnya, ular air tawar ini pun relatif kecil, yakni kurang dari 1meter (>700mm) dan hanya tersebar di Danau Towuti. Alhasil ular ini memiliki tingkat endemisitas yang lebih tinggi dibandingkan H. matannensis. Oleh karena itu studi lebih lanjut mengenai populasi dan sebarannya diperlukan untuk mengevaluasi status konservasinya,” imbuhnya.
Amir menjelaskan empat jenis dari genus ini, tiga jenisnya terdapat di Sulawesi dan dua jenis di antaranya adalah endemik Sulawesi, yaitu H. indonesiensis (endemik Danau Towuti) dan H. matanensis di Danau Matano dan beberapa wilayah Sulawesi lainnya.
“Saat ini jumlah ular endemik di Sulawesi hampir mencapai 60%. Jika dibandingkan Kepulauan Sundaland jumlah tersebut jauh lebih rendah, namun endemisitasnya lebih tinggi. Sumatera memiliki 127 spesies ular, dimana 16% di antaranya adalah endemik, sedangkan Kalimantan memiliki 133 spesies (23% endemik), Jawa dan Bali (110 spesies, 6,4%) bersifat endemik,” terang Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH) BRIN ini.
Disebutkan Amir, tingkat endemisitas yang tinggi dan kekayaan spesies yang relatif rendah kemungkinan besar terkait periode isolasi Sulawesi yang lama dari Kepulauan Sunda Besar lainnya. Oleh karena itu para taksonom Enhydris (sebelumnya genus Hypsiscopus) menyarankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi status taksonomi Hypsiscopus Sulawesi karena keterbatasan spesimen berpotensi menyesatkan dalam studi morfologi.
Catatan BRIN, Sulawesi adalah sebuah pulau di Kepulauan Indo-Australia yang terkenal dengan sejarah geologi yang unik dan hotspot keanekaragaman hayati bagi banyak spesies, serta pola endemisme pada taksa tertentu. Pulau ini memiliki beberapa danau purba yang terfragmentasi pada masa Pliosen, antara lain Danau Matano dan Danau Towuti, serta Danau Mahalona. Kedua danau besar tersebut dihubungkan dengan sistem sungai yang sangat terbatas.